Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apa Makna jadi Negara Terbahagia di Tengah Wabah Virus Corona?

KOMPAS.com – 20 Maret merupakan hari kebahagiaan internasional atau disebut juga international happiness day.

Negara Skandinavia secara berturut-turut ditahbiskan menjadi negara terbahagia, salah satunya berkat 'resep' khusus yang mereka miliki.

Namun, hari kebahagiaan internasional pada 2020 dirayakan di tengah wabah virus corona ( Covid-19 ).

Lantas, seperti apa makna menjadi negara terbahagia di tengah pandemi ini?

Dilansir dari CNN Travel, seorang bernama Samuel Kopperoinen tinggal di negara paling bahagia di dunia saat pandemi corona bukan hanya soal kebahagiaan jangka pendek.

Namun juga soal jaringan keamanan sosial dan sistem pendukung yang dimiliki negaranya sebelum masalah menyerang.

Kopperoinen tinggal di Finlandia yang jadi negara terbahagia di dunia dalam tiga tahun terakhir menurut daftar terbaru Laporan Negara Bahagia di Dunia Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).

Dalam daftar ini, Finlandia diikuti oleh Denmark, Swiss, Islandia, dan Norwegia.

Laporan ini dirilis oleh Sustainable Development Solutions Network untuk PBB yang dirilis pada Jumat (20/3/2020) yang juga jadi Hari Kebahagiaan Internasional.

Negara tersebut diukur menggunakan enam variabel kunci yang mendukung kesejahteraan, yakni penghasilan, kebebasan, kepercayaan, harapan hidup sehat, dukungan sosial, dan kemurahan hati.

“Bagian penting dari kesejahteraan adalah layanan kesehatan publik yang bagus,” ujar Kopperoinen, seorang kontraktor asal Helsinki yang menikah dengan tiga anak.

Warga Finlandia percaya bahwa ketika sakit dan tidak berdaya, semua orang akan mendapatkan perawatan.

“Kita percaya dengan kualitas dan ketersediaan (layanan kesehatan publik). Selain itu jaringan keamanan sosial kita juga penting.

Itu akan membantu kita ketika kita kehilangan pekerjaan, sakit atau ketika anak kita sakit.

Kita akan kehilangan penghasilan, tapi kita akan mendapatkan kompensasi yang akan membantu kita bertahan dan mengatur konsumsi harian kita,” lanjutnya.

Untuk membuat masyarakat yang baik, tidak hanya dibutuhkan jaminan kesehatan, jaminan anak, sistem pendidikan, dan tunjangan tidak bekerja. Apalagi ketika sedang dalam masa tak pasti seperti pandemi corona ini.

“Kota dan gereja saling bekerja sama menghimpun bantuan untuk anggota-anggotanya. Ada juga layanan yang diorganisasi oleh jaringan dan layanan peer-to-peer seperti Nappi Naapuri, di mana orang bisa memberi dan meminta bantuan dari lingkungan sekitar,” jelas Kopperoinen.

Masa sulit akibat wabah virus corona

Kebahagiaan memang tidak akan memberikan kekebalan bagi negara terbahagia dalam melawan virus corona.

Berdasarkan laporan dari Jeffrey Sachs, seorang profesor ekonomi dan direktur dari Center for Sustainable Development di Columbia University.

Sachs juga mengatakan bahkan sistem kesehatan mereka pun tak bisa menghadapi virus ini.

“Hal penting yang harus dilakukan pada pekan-pekan ke depan adalah social distancing, isolasi diri, karantina, berlindung di rumah, dan langkah lain untuk menutup sekitar. Jika dilakukan secara sukarela dan sistematis maka akan jadi bagian penting untuk kehidupan sosial dan ekonomi,” ujar Sachs.

Menurut Sachs, ini akan jadi cara hidup yang sulit untuk dilakukan dan diikuti. Serta akan membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk waktu jangka pendek. Namun hal ini perlu dilakukan untuk menghindari akibat kematian dari pandemi ini.

“Saya yakin bahwa pemerintah yang berfungsi dengan baik akan berakhir dengan lebih baik karena pandemi ini membutuhkan pemerintah yang kuat dan efektif serta implementasi aturan yang ketat,” lanjutnya.

Sachs menjelaskan, Amerika Serikat yang jadi peringkat ke-18 dalam World Happiness Report mengalami situasi yang kacau. Menurutnya, itu menunjukkan kepercayaan terhadap pemerintah yang rendah dan aksi pemerintah dan ekspektasi yang buruk terhadap pemerintah oleh masyarakat.

Saling menolong dan percaya di tengah pandemi

Ketika pandemi seperti virus corona menyerang kesehatan dan pemasukan masyarakat, maka mereka mencari cara yang kooperatif untuk bekerja sama dalam memperbaiki kerusakan dan membangun kembali kehidupan.

Menurut laporan tersebut, hal ini nantinya akan berujung pada peningkatan kebahagiaan yang signifikan.

Berbanding terbalik dengan banyak orang yang menganggap hal ini sebagai bencana yang tidak termitigasi.

Hal tersebut karena orang biasanya merasa terkejut dengan kebaikan tetangga mereka dan lembaga tempat mereka bekerja dalam membantu satu sama lain.

Hal ini akan berakibat pada rasa kepemilikan yang tinggi dan kebanggaan untuk hal yang bisa mereka raih dalam hal mitigasi.

Pencapaian ini yang kemudian jadi hal yang cukup baik untuk menggantikan kehilangan material yang mereka derita.

Guru sejarah dan kewarganegaraan Finlandia, Ville Jaattela setuju dengan hal ini.

Jateela tidak berpikir pemerintah Finlandia itu sempurna, tapi warga Tempere ini mengatakan bahwa ia memercayai pemerintah saat ini untuk bisa melakukan yang terbaik saat krisis.

“Saat krisis seperti ini, pemerintah harus bekerja dengan informasi yang mereka miliki dan tidak bisa melihat masa depan. Tidak semua perkembangan bisa diestimasikan dengan 100% kepastian. Jadi saya percaya bahwa mereka akan melakukan yang terbaik dan semua yang mereka bisa,” ujar Jaattela.

Negara superpower tak masuk 10 besar

Bahkan tanpa dampak dari virus corona, tidak ada negara-negara dengan ekonomi tinggi yang berhasil masuk ke 10 besar. Inggris Raya jadi peringkat ke-13, naik dari sebelumnya peringkat ke-15 pada tahun 2019 lalu.

Sementara Jerman tetap berada di peringkat 17 dalam waktu dua tahun berturut-turut. Jepang ada di peringkat ke-62, turun empat peringkat dari 58 pada 2019 lalu.

Lalu Rusia ada di peringkat ke-73, setelah pada 2019 lalu ada di peringkat ke-68, dan China duduk di peringkat 94, turun satu peringkat dari 93 pada 2019 lalu.

Sementara itu di spektrum yang berlawanan, orang-orang di Afghanistan jadi yang paling tidak bahagia dengan hidup mereka, berdasarkan survey terhadap 153 negara di dunia.

Diikuti Sudan Selatan di posisi 152, Zimbabwe posisi 151, Rwanda posisi 150, dan Republik Afrika Tengah di peringkat 149 dunia.

Bhutan jadi negara yang mengajukan World Happiness Day atau Hari Kebahagiaan Dunia ke PBB pada 2011.

Hal ini membawa perhatian dunia internasional terhadap kebahagiaan sebagai pengukuran kesejahteraan.

Pada 2012, Perkumpulan Umum PBB mendeklarasikan tanggal 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Dunia.

Mengakui relevansi kebahagiaan dan kesejahteraan sebagai tujuan dan aspirasi universal dalam kehidupan manusia di dunia dan pentingnya pengakuan mereka dalam hal kebijakan publik.

Laporan ini sudah delapan kali dirilis sejak 2012. Peringkat negara terbahagia di dunia berasal dari analisa data yang dilakukan melalui survey terhadap 156 negara, etrmasuk Gallup World Poll.

Negara terbahagia di dunia

  1. Finlandia
  2. Denmark
  3. Swiss
  4. Islandia
  5. Norwegia
  6. Belanda
  7. Swedia
  8. Selandia Baru
  9. Austria
  10. Luxembourg

Negara paling tidak bahagia di dunia

  1. Afghanistan
  2. Sudan Selatan
  3. Zimbabwe
  4. Rwanda
  5. Republik Afrika Tengah
  6. Tanzania
  7. Botswana
  8. Yaman
  9. Malawi
  10. India

https://travel.kompas.com/read/2020/03/21/190200327/apa-makna-jadi-negara-terbahagia-di-tengah-wabah-virus-corona-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke