Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pala, Rempah yang Dipercaya Bisa Menangkal Pandemi Black Death pada Abad Ke-14

Dilansir dari The Guardian, sejarah pala bisa dirunut cukup panjang. Pala sudah dikenal bangsa Arab dan diperdagangkan sejak tahun 1.000 Masehi.

Dokter terkenal asal Persia saat itu, Ibnu Sina, juga mengenal pala dan menyebutnya "jansi ban" atau kacang banda.

Pala yang diperdagangkan kemudian masuk ke Venesia di Italia dan berbagai belahan dunia lainnya.

Satu yang pasti, pala saat itu mempunyai harga yang mahal. Bahkan, harga pala saat itu lebih mahal dari emas. 

Sejarah pala juga begitu kelam, lantaran diperebutkan oleh Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Negara-negara ini rela menjelajah dunia untuk mencari sumber pala terbaik, tak lain di Kepulauan Banda.

Pala sebagai pencegah pandemi

Salah satu faktor menarik bagi bangsa Eropa pada saat itu adalah kelangkaan.

Sebagai perbandingan masa kini, kelangkaan yang sama bisa kamu temukan pada satu kilogram kaviar beluga yang dihargai sekitar 10.000 poundsterling atau sekitar Rp 193 juta.

Selain itu, pala juga selalu dianggap lebih dari sekadar rempah perasa.

Pada awal sejarahnya, bangsa Arab juga memperjualbelikan pala sebagai pewangi, zat perangsang, dan obat.

Dalam buku karya Penny Le Couteur dan Jay Burreson berjudul Napoleon’s Buttons, pala di abad-14 juga dipercaya sebagai pelindung wabah. 

Buku tersebut menyebutkan, pala dianggap bisa melindungi manusia wabah Black Death yang melanda Eropa pada abad ke-14 hingga 18.

Black Death merupakan penyakit akibat bakteri yang berasal dari tikus yang terinfeksi akibat gigitan kutu.

Memakai pala yang sudah dimasukkan ke dalam kantung kecil dan dikalungkan di sekitar leher dipercaya bisa mencegah pemakainya dari terkena Black Death.

Awalnya hal itu dianggap sebagai takhayul belaka. Namun, jika melihat reaksi kimianya, pala mempunyai aroma khusus unik yang disebabkan oleh komponen bernama isoeugenol.

Tanaman akan membentuk komponen isoeugenol sebagai insektisida alami untuk mengusir kutu.

Meski demikian, apakah pala memang benar bisa efektif mengusir wabah hingga kini tidak terbukti. Namun, yang pasti, aroma dari pala tersebut jadi salah satu alasan kenapa pala begitu diburu.

Menyebabkan halusinasi

Dilansir dari The Guardian, tempat penjualan obat di masa lalu lebih berhati-hati dalam menangani dan menjual pala daripada rempah lainnya.

The Salerno School, salah satu sekolah medis Eropa terbaik di awal abad pertengahan, memberikan peringatan soal pala.

“Satu biji baik untukmu, sementara yang kedua akan membuat bahaya untukmu, ketiga akan membunuhmu.”

Ini mungkin tidak sepenuhnya benar, tetapi memang pala bisa menjadi racun dalam dosis yang besar.

Minyak dalam pala mengandung myristicin. Dalam dosis besar, myristicin akan menyebabkan halusinasi, igauan, debaran jantung tak beraturan, rasa mual, dehidrasi, dan rasa sakit.

Pala dalam jumlah tertentu bahkan bisa berakibat fatal untuk binatang, termasuk anjing.

Dalam novel karya William Burroughs berjudul Naked Lunch, ia sempat menulis bahwa ada orang-orang Amerika Selatan yang mengisap bubuk pala.

Mereka mengalami kejang, berkedut, dan bergumam saat mengigau.

Malcolm X juga mendeskripsikan para tahanan Amerika Serikat yang mengonsumsi pala dalam otobiografi miliknya. Tak lama, pihak berwajib menemukan praktik tersebut dan melarangnya.

Reputasi pala yang bisa menghasilkan halusinasi terus ada hingga kini.

Salah satunya dalam tren terbaru yang muncul di media sosial TikTok tentang seorang remaja yang memulai tren baru mengonsumsi bubuk pala untuk kemudian merasakan efek seakan sedang mabuk.

Tren ini terbilang berbahaya, mengingat risiko yang disebutkan sebelumnya. Pala dalam jumlah tersebut dapat mengakibatkan kematian.

https://travel.kompas.com/read/2020/04/20/080700627/pala-rempah-yang-dipercaya-bisa-menangkal-pandemi-black-death-pada-abad-ke-14

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke