JAKARTA, KOMPAS.com – Di Garut, lebih tepatnya di Desa Cigedug, terdapat sebuah tradisi minum teh yang unik bernama “nyaneut”.
“Nyaneut” berasal dari bahasa Sunda “nyandeutkeun” yang berarti mendekatkan atau menghubungkan.
Tradisi tersebut, menurut budayawan Garut bernama Dasep Badru Salam, berasal dari kebiasaan para petani zaman dahulu.
“Nyaneut itu kebiasaan minum teh (ngeteh) pagi-pagi banget sembari ngobrol dengan petani lain ngobrolin pertanian dan perkebunan,” kata Dasep dalam acara Festival Teh Ngabuburit Online Day 3 melalui Instagram Live @acteavist, Rabu (6/5/2020).
Dasep menuturkan bahwa neneknya juga menjalani tradisi tersebut. Setiap pukul 05.00 – 07.00 WIB, para petani di kampungnya kerap ngariung (berkumpul) di rumah neneknya hanya untuk ngeteh bersama.
Selain ngeteh, biasanya mereka juga akan makan kudapan berupa umbi-umbian rebus seperti singkong.
Tujuan dari nyaneut adalah untuk lebih mendekatkan mereka yang sudah dekat, dan mendekatkan mereka yang jauh guna menjalin tali silaturahmi.
“Proses dakwahnya waktu itu lewat budaya, salah satunya lewat minum teh. Dakwah lewat budaya pagelaran wayang golek. Sebelum atau sesudah pagelaran, mereka suka mengumpulkan masyarakat untuk ngeteh bersama,” kata Dasep.
Melalui kalimat “hayuk urang nyandeut”, Sunan Gunung Jati menamai kegiatan tersebut sebagai “nyandeut” atau saat ini menjadi nyaneut.
Kegiatan tersebut lambat laun berubah menjadi sebuah tradisi yang menyebar di kalangan masyarakat Sunda, khususnya wilayah Priangan.
Selain para petani yang berkumpul, tradisi nyaneut yang sudah menjadi suatu kearifan lokal tersebut juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menyediakan teh untuk tamu, misalnya. Jika ada tamu yang berkunjung dan mereka tidak disuguhi teh, maka hal tersebut dianggap tidak sopan.
Dasep mengatakan bahwa dulu teh disajikan dalam wadah bambu. Baik itu gelas maupun teko. Namun hal tersebut murni karena gelas sulit dicari.
“Pakai bambu karena dataran tinggi banyak bambu. Teh yang dihidangkan memiliki rasa khas bambu. Tapi lebih dingin karena bambu tidak bisa menahan panas teh,” tutur Dasep.
Kendati sebagian masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di kaki Gunung Cikuray, masih mengindahkan tradisi nyaneut, namun Dasep menuturkan bahwa kebiasaan tersebut mulai luntur.
“Sekarang kebiasaan menyuguhi teh masih saat tamu ke rumah masih bertahan. Tapi sudah mulai luntur. Orang-orang hanya menyediakan air putih saja,” kata Dasep.
Dasep melanjutkan bahwa untuk mereka yang tinggal di kaki gunung tersebut, mereka tidak hanya akan menyuguhi secangkir teh, namun juga dibekali teh dari kebun mereka.
Festival Nyaneut yang diadakan setiap bulan purnama
Guna melestarikan kearifan lokal tersebut, pada tahun 2014 Dasep menyelenggarakan Festival Nyaneut yang menyoroti tradisi minum teh bersama.
Sebab, Dasep mengatakan bahwa tradisi tersebut sudah hampir punah. Awalnya, dia menyelenggarakannya sendiri sebelum akhirnya didukung oleh masyarakat, hingga pemerintah setempat.
Bahkan, festival tersebut kini merupakan bagian dari calendar of event dan kerap dipromosikan kepada wisatawan.
Dasep juga kerja sama dengan beberapa hotel untuk menarik wisatawan mempelajari tradisi tersebut dengan mengikuti Festival Nyaneut.
Nyaneut merupakan festival yang diadakan setiap setahun sekali pada 14 Oktober. Tepatnya saat bulan purnama tiba.
“Pelaksanaannya di kaki gunung, ada tempat namanya Pelabuhan Bulan. Disebut Pelabuhan Bulan karena di sana ada sumber air yang memantulkan sinar bulan,” kata Dasep.
Terdapat satu rangkaian yang paling dinantikan oleh mereka yang mengikuti Festival Nyaneut.
“Tata cara minum teh bersama. Ketika minum teh bersama melalui prosesi, akan dipandu sama satu orang di depan,” kata Dasep.
Langkah pertama sebelum meminum teh yang sudah disediakan adalah dengan memutar gelas searah jarum jam selama dua kali.
Selanjutnya, hirup aroma teh sebanyak tiga kali dengan cara menarik napas dalam-dalam sebelum diembuskan secara perlahan.
“Setelah dihirup, diseruput selama empat kali. Pertama di ujung lidah, kemudian pertengahan lidah, lalu pangkal lidah (dekat tenggorokan). Sampai di sini, tahan dulu selama tiga detik sebelum ditelan,” tutur Dasep.
Saat melakukan prosesi tersebut, Dasep mengatakan bahwa suasana harus hening. Sebab, prosesi tersebut dianggap memiliki makna tersendiri.
Ada pun makna yang dimaksud adalah menikmati hangatnya meminum teh sembari mendengarkan suara alam sekitar.
Setelah minum teh, partisipan Festival Nyaneut bisa segera menyantap umbi-umbian rebus yang sudah disediakan.
Tradisi yang membuat petani teh sejahtera
Dilestarikannya tradisi minum teh Indonesia bersama, menurut Dasep, dapat membuat masyarakat Nusantara lebih mengapresiasi teh buatan lokal.
Dengan apresiasi tersebut tumbuhlah keinginan mereka untuk mencicipi lebih banyak teh Indonesia, dan membuat petani teh sejahtera.
“(Adanya pengenalan tradisi dalam bentuk festival) membuat konsumen tersadarkan untuk beli teh lokal. Harapan saya ke depannya untuk meningkatkan nilai tambah petani, untuk lebih termotivasi untuk tetap berkebun teh,” kata Dasep.
https://travel.kompas.com/read/2020/05/08/190900627/mengenal-nyaneut-tradisi-minum-teh-khas-garut-yang-dulu-disajikan-dalam-teko
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan