Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Intip Rumah Limas Khas Palembang seperti di Uang Rp 10.000

Seluruh sisi bangunan nampak tak satupun dimakan rayap. Soalnya, rumah tersebut terbuat dari kayu tembesu dan ulin yang terkenal kuat dan tahan air, meskipun berusia lebih dari satu abad.

Rumah yang sudah berdiri sejak zaman kesultanan Palembang itu dikenal dengan sebutan rumah Limas.

Ruangan dibagi-bagi

Rumah Limas ini terbilang unik. Sebab, seluruh ruang yang ada di dalamnya memiliki tingkatan tersendiri.

Tingkatan pertama adalah Pagar Tenggalangong yang merupakan ruangan tempat bersantai.

Bilik dinding atau Lawang Kipas yang terbuat dari papan kayu tembesu mempunyai dua fungsi yakni sebagai plafon serta pembatas.

Jika bilik telah dibuka, biasanya ruangan Tenggalong ini digunakan sebagai tempat hajatan.

Kemudian, ruangan kedua disebut Jogan. Jogan artinya merupakan ruang penjagaan. Di ruangan ini ada dua kamar yang dijaga oleh pengawal khusus, yakni kamar pengantin serta tamu kehormatan.

Pengantin yang baru saja menikah, akan tinggal di kamar tersebut dan di jaga ketat oleh pengawal. 

Selanjutnya, ruang ketiga yakni Gegajah yang digunakan sebagai tempat menerima tahu kehormatan pemilik rumah.

Ruangan keempat adalah ruang kerja, disini biasanya juga digunakan sebagai dapur serta lokasi untuk menenun bagi anak perempuan si pemilik rumah.

Terakhir ruangan sesimbur pengantin yang merupakan tempat mandi pengantin.

Lima tanduk kambing dimaknai sebagai shalat lima waktu dan empat tanduk adalah sahabat nabi.

Kemudian, di atas atap rumah akan dibuat bentuk bintang hari dan bulan yang melambangkan nabi Adam dan Siti Hawa.

"Biasanya setiap pemilik rumah Limas ini memiliki tingkatan beda-beda. Tergantung pemilik. Semakin banyak tingkatan berarti stratanya semakin tinggi," kata Tamzi kepada Kompas.com, Sabtu (15/8/2020).

Dahulu, rumah tersebut berada di tepian sungai musi yang merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang pada abad ke-17.

"Rumah ini sudah lima kali pindah. Dulu di belakang kantor Walikota Palembang pada 1933-1985. Kemudian di pindahkan ke sini (Museum Balaputra Dewa," ujarnya.

Meskipun telah lima kali pindah, rumah Limas tersebut tetap memilik bentuk yang sama. Sebab, rumah itu memiliki sistem knockdown yang bisa dibongkar pasang.

"Yang diganti hanya gentengnya saja karena sudah rapuh. Dulu genteng itu menggunakan belah bulu (potongan bambu) karena tidak ada lagi, akhirnya di ganti genteng," jelas Tamzi.

Biaya pembuatan rumah Limas yang begitu besar, membuat bangunan itu hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.

Seperti halnya di kawasan IBA milik Bayumi Wahab, serta Abdul Rozak pengusaha martabak HAR di Palembang.

Bank Indonesia (BI) juga sempat mencetak desain gambar Sultan Mahmud Badaruddin II di bagian depan, dan di belakang desain rumah Limas khas Palembang yang dikeluarkan pada 2005-2010.

"Waktu pengambilan gambar untuk cetak uang Rp 10.000, rumah Limasnya sudah di sini,"terang Tarmizi.

Di Museum Balaputra Dewa Palembang, tak hanya memiliki koleksi jaman kesultanan Palembang Darussalam.

Koleksi peninggalan perdaban pra sejarah, masa kerajaan Sriwijaya hingga pergerakan untuk kemerdekaan juga tersusun rapi di museum tersebut.

Menurut Tamzi, mereka mempunyai 7.000 koleksi di Museum tersebut, seperti batu-batuan pra sejarah berupa Megalith serta tumbuh-tumbuhan. Ada juga kerangka manusia gua pra sejarah yang menjadi koleksi.

"Barang peninggalan yang ada di museum ini sudah dikumpulkan sejak zaman Belanda. Sampai sekarang tetap kita jaga agar dapat dilihat oleh masyarakat," ungkapnya.

Jika ingin berkunjung taati protokol kesehatan dengan memakai masker, jaga jarak minimal satu meter, gunakan hand sanitizer dan rajin mencuci tangan, serta pastikan suhu tubuh normal di bawah 37,3 derajat celcius.

https://travel.kompas.com/read/2020/08/18/211400327/intip-rumah-limas-khas-palembang-seperti-di-uang-rp-10.000

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke