Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Trekking di Kaki Gunung Salak, Dikagetkan Ular dalam Tiga Babak

BOGOR, KOMPAS.com – Kegiatan trekking di Desa Pasirjaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barta, merupakan sebuah pengalaman yang sulit dilupakan.

Salah satunya adalah karena pemandangan Gunung Salak dan Gede Pangrango akan selalu menemani di sepanjang perjalanan.

Hal ini membuatnya sebagai jalur trekking paling menawan yang Kompas.com susuri saat sedang berada di desa tersebut untuk berburu gerhana bulan, dan menikmati golden sunrise pada Rabu (26/5/2021) dan Kamis (27/5/2021).

Perjalanan dari tempat Kompas.com dan rekan dirikan tenda menuju jalur trekking dimulai sekitar pukul 09:00 WIB.

Kami turun ke sebuah pertigaan, dan mengambil belokan ke arah kiri untuk memulai kegiatan. Jalur tersebut dipenuhi oleh perkebunan dan persawahan warga. Salah satunya adalah kebun tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus).

Rekan yang menemani kami sudah pernah berkunjung ke sini. Alhasil, dia sudah tahu jalur mana yang aman untuk dilalui.

Berkunjung ke kebun tanaman kumis kucing

Kegiatan trekking kami tidaklah sekadar berjalan kaki menikmati pemandangan. Kami berkunjung ke salah satu kebun tanaman kumis kucing.

Sebab, kami sama-sama menyukai dan gemar mencari tahu informasi seputar flora dan fauna. Selain itu, pemandangan dari kebun tersebut terbilang cukup menakjubkan.

Bagaimana tidak? Hamparan kebun tanaman kumis kucing tersebut memiliki latar belakang hamparan sawah, perkebunan, pepohonan, serta Gunung Salak yang terlihat indah.

Seperti masuk dimensi lain

Meski tubuh mulai lelah setelah cukup lama trekking, Kompas.com tetap melanjutkannya walau dalam hati menggerutu “Begini saja capek, bagaimana kalau mendaki Prau, Gede Pangrango, atau Ciremai!?”.

Rasa letih akhirnya hilang setelah tubuh mulai beradaptasi, dan energi telah pulih setelah istirahat selama dua menit.

Di sepanjang perjalanan, kami ditemani oleh pepohonan rindang, kicauan burung, bunyi “tek tek tek” dari beberapa kincir angin yang ditemui, serta Gunung Salak di depan mata dan Gunung Gede Pangrango di belakang.

Setelah sekitar 20 menit, jalur kami berubah karena dipenuhi pepohonan yang lebih rindang dari sebelumnya dan menciptakan ilusi seperti dimensi lain.

Selama melanjutkan trekking melewati jalur tersebut, Kompas.com dibuat kagum dengan keasrian yang masih terjaga.

Susuri tepian lembah dan menyapa petani

Setelah lorong alam tersebut usai, kami tiba di ujung jalan yang lengkap dengan pemandangan Gunung Salaknya.

Pada saat itu, kami sempat ragu apakah ingin kembali lewat jalur sebelumnya atau coba lewat jalur baru. Karena kami berjiwa petualang, kami memutuskan untuk belok kanan ke jalur baru.

Usut punya usut, ternyata jalur tersebut mengantarkan kami ke pemandangan yang lebih menawan dari sebelumnya—sebuah lembah dengan jalur kecil berliku yang membentang sepanjang mata memandang.

Kami pun sempat berhenti untuk menikmati pemandangan yang ada, dan bertegur sapa dengan para petani untuk bertanya apakah ada jalan pulang jika terus mengikuti jalur tersebut.

“Nyasar” ke padang rumput

Salah seorang petani mengatakan bahwa ada jalur lain untuk kembali ke jalan besar. Dia menuturkan, kami hanya perlu mengikuti jalur setapak ini hingga menemui sebuah sungai lalu menyeberanginya.

Kompas.com bersama rekan pun menyusuri jalur setapak tersebut. Akhirnya, kami tiba di sebuah hutan dan jalur menanjak lainnya yang dihalangi oleh dua bambu membentuk sebuah portal menyilang.

Namun, karena petani tersebut mengatakan bahwa kami boleh lewat sana, kami pun menerobos masuk. Ternyata, pemandangannya tidak kalah keren dengan lembah yang sempat dilewati.

Padang rumput yang luas langsung menyambut mata kami. Untungnya, saat itu Gunung Gede Pangrango yang berada di belakang kami sudah tidak tertutup kabut.

Hal ini membuatnya, bersama dengan Gunung Salak, terlihat sangat jelas. Saking indahnya pemandangan yang ada, rekan Kompas.com berhenti untuk membuat video blog. Kompas.com pun tidak ingin ketinggalan dan ikut membuat Insta Story.

Iseng lewat jalur yang hanya diketahui warga lokal

Mengikuti jalur yang kian menanjak, kami pun tiba di sebuah kebun bunga matahari. Tepat di ujung kebun adalah sebuah villa yang katanya milik orang Belanda.

Di lokasi tersebut, ada seorang pria yang bertanya kami hendak ke mana. Rekan kami menjawab bahwa kami ingin pulang usai trekking. Dia juga bertanya kepada pria tersebut apakah benar jalur menuju jalanan besar lewat sini.

Pria tersebut mengarahkan kami melewati sebuah jalur yang hanya diketahui dan dilewati warga lokal. Tanpa pertimbangan lain, kami langsung melanjutkan perjalanan mengikuti jalur setapak yang menurun.

Di sini, jalurnya lebih “liar” dari jalur trekking sebelumnya. Jalur berbatu tertutup oleh rerumputan yang rindang dan tanah basah.

Kanan dan kiri jalur setapak adalah semak belukar setinggi 145 sentimeter, pepohonan rindang, dan sebuah lembah yang cukup dalam pada sisi kiri jalur.

Meski jalur ini cukup rawan untuk dilewati oleh kami yang tidak terlalu familiar dengan medannya, namun pengalaman yang diberikan sangat mengasyikkan.

Menyebrangi sungai, dibikin kaget ular raksasa!

Setelah berjalan cukup lama, dan Kompas.com sempat terpleset beberapa kali karena tidak pakai sepatu gunung, akhirnya kami tiba di sebuah aliran sungai yang dangkal.

Saking dangkalnya, terdapat beberapa gundukan tanah yang cukup tinggi dan bisa dilalui oleh orang-orang. Dengan begitu, mereka tidak perlu menerobos air.

Dari sana, kami mengikuti jalur setapak menuju sebuah warung. Saat melewati bangunan tersebut, Kompas.com sempat kaget saat menengok ke arah kanan.

Bukannya dikagetkan oleh indahnya pemandangan Gunung Gede Pangrango yang dilihat dari sebuah halaman berumput nan luas, namun oleh ukiran ular raksasa di tembok warung.

Setelah berjalan sekitar lima menit, kami akhirnya bertemu dengan jalan besar. Kami mengambil jalur lurus menurun dan tidak ke arah kiri yang menanjak.

Dari jalur tersebut, kami berjalan lurus mentok lalu belok kiri. Meski berliku, namun jalur yang dilalui tidak bercabang sehingga mudah untuk menavigasikan diri.

“Aku kira itu tali celana, tahunya ular mati!”

Di sepanjang perjalanan, Kompas.com sangat menikmati suasana yang ada. Sebab, saat itu sedang sepi.

Angin pun lebih terasa, dan jalur beraspal sudah kembali dipenuhi pepohonan rindang pada sisi kanan dan kirinya.

Kendati demikian, saat asyik memotret pemandangan, Kompas.com sempat berhenti setelah melewati “sesuatu” yang sepintas terlihat saat sedang menunduk melihat foto-foto di dalam ponsel.

Saat itu, Kompas.com sempat mengira bahwa apa yang dilihat hanyalah tali celana yang bergerak karena Kompas.com sedang berjalan, atau sebuah batang kayu.

Namun, saat berhenti dan menengok ke belakang, ternyata apa yang baru saja diloncati oleh Kompas.com adalah seekor ular yang sudah mati.

Saat itu, kami saling kaget karena sama-sama tidak “ngeh” bahwa apa yang tergeletak di sisi kiri jalan tersebut adalah seekor ular mati.

Awalnya, rekan tidak percaya bahwa ular sudah mati. Kami pun mendekatinya secara perlahan. Namun, untungnya ular tersebut benar-benar sudah mati.

Jika tidak, mungkin kaki Kompas.com yang sempat melangkahinya tadi akan disamber atau dililit.

Apabila hal tersebut terjadi, untungnya Kompas.com tahu pertolongan pertama yang harus dilakukan saat diserang ular.

Hampir tiba di tujuan awal, masih dibuat kaget oleh ular

Setelah melanjutkan perjalanan dengan hati masih berdebar, serta tawa yang keluar sebagai respon dari rasa panik, kami kembali disuguhi oleh pemandangan pepohonan rindang yang masih asri.

Selama beberapa menit, kami tetap menyusuri jalur tersebut di tengah teriknya matahari sambil berandai-andai seputar es dawet, es jeruk, jus alpukat, atau es kelapa.

Akhirnya, kami pun tiba di jalur yang mengarah ke lokasi kami mendirikan tenda dan bukan pada lokasi yang kami lewati saat memulai trekking.

Saat itu, Kompas.com ingin memotret jalur yang telah dilewati. Namun, Kompas.com kembali dibuat kaget oleh ular.

Akan tetapi, yang membuat lucu adalah ular tersebut bukanlah ukiran ular seperti di tembok warung, atau ular mati. Namun foto ular mati yang sempat Kompas.com ambil setelah sesi kaget selesai.

https://travel.kompas.com/read/2021/06/09/071400727/trekking-di-kaki-gunung-salak-dikagetkan-ular-dalam-tiga-babak

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke