Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berkhayal Kelana ke Ubud, Gara-gara Slank dan Lagu Tepi Campuhan...

SESAK hati tiba-tiba terjadi, gara-gara tembang Slank, Tepi Campuhan.

Jadi makin kangen piknik ke Bali. Apa lagi, coba?

Yang ini nih lagunya:

Sudah ikut diam-diam memaki di dalam hati? 

Ups, jangan jadi hobi memaki juga ya. Terlebih lagi, ini membahas Bali, Ubud, dan Campuhan. Urutannya dibalik atau diacak, enggak apa-apa juga sih. 

Eh, kenapa dengan lokasi-lokasi tersebut?

Tentang kesepian spiritual

Putu Fajar Arcana punya sebuah sudut pandang cerita tentang Ubud, khususnya Campuhan, yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Gianyar, Bali.

Tayang di harian Kompas edisi 16 April 2000, dia memberi judul Menangkap Kerinduan Spiritual Turis Lewat Jurang untuk tulisannya tentang itu. 

Dia menyebut, Campuhan merupakan destinasi mistis yang sekaligus jadi jawaban bagi kerinduan turis tentang arti spiritualitas sejati ala Bali. 

Campuhan-lah, tambah dia, yang mengawali era baru pencitraan bagi pariwisata Bali dalam konteks ini. 

Putu Arcana menulis, sebelum Campuhan mengawali babak baru itu, wacana soal Bali dianggap terlalu dominan Barat. Romantisme yang dihadirkan di buku-buku orang Barat pun kenes.

Citra itulah yang melekat di kepala wisatawan, tulis dia, saat mereka berucap, "This is the last paradise."

Campuhan menghadirkan sesuatu yang terasa lokal dan lebih dekat. Kawasan ini mencuatkan ulang konsep nyegara-gunung—konsep tentang laut dan gunung—yang hingga kini adalah the way of life orang Bali. 

"Konsep (nyegara-gunung) ini menerjemahkan laut sebagai pelebur segala mala dan gunung sebagai tempat mencari kesucian," tulis Putu Arcana. 

Popo Danes, salah satu narasumber di tulisan itu pun bertutur, Campuhan adalah destinasi yang menjawab kerinduan para wisatawan, terutama kelas menengah, yang secara umum sedang berjibaku dengan kesepian spiritualitas. 

"Kelas menengah yang mengalami kerinduan spiritual ini cenderung mencari tempat-tempat kontemplatif seperti pegunungan, jurang, sungai, dan lembah," ujar Popo.

Pada kurun waktu tulisan tersebut diracik, Popo melihat ada kecenderungan jurang atau lembah menjadi pilihan baru. Laut dirasa mulai jenuh.

Wayan Munut, pemilik Hotel Cahaya Dewata, di artikel ini pun bilang, masyarakat Bali menganggap lembah atau jurang punya getaran kesucian.

"Saya cuma melihat jurang suatu saat akan menjadi tempat tujuan akhir," kata Munut. 

Berawal dari jurang dan tebing kali

Made Parnatha, warga Ubud yang dikutip dalam tulisan Putu Arcana, bertutur bahwa titik awal pembangunan di atas tebing tukad (sungai) di kawasan itu telah dimulai pada 1929.

Ada warga Jerman bernama Walter Spies, tutur dia, memutuskan menetap di Ubud. Saat itu, Tuan Sepis—begitu warga setempat memanggilnya—membangun sebuah rumah di atas tebing Tukad Campuhan.

"Rumah itu kini menjadi Hotel Campuhan milik keluarga Puri Ubud," ujar Made Parnatha, di situ.

Namun, Munut-lah yang mengawali perubahan besar di kawasan tersebut. Dia sudah melakukannya sejak 1965, ketika membangun Munut Bungalow di tebing Tukad Campuhan.

Jurang, bagi masyarakat Bali adalah gambaran ruang tak terjamah. Mistis. 

Munut, sebagai seniman lukis juga, memandang ruang tak terjamah itu sebagai simbol otentisitas. Bagi seniman, setidaknya, itu adalah ruang untuk berburu originalitas. 

Maka, ketika Munut mendirikan Cahaya Dewata pada 1980, dia membuktikan bahwa pencarian soal originalitas itu bukanlah miliknya seorang.

Wisatawan berdatangan, hotel-hotel dari papan biasa sampai papan atas dibangun, ekonomi lokal bergerak.

Salah satu perwakilan hotel jaringan yang ada di situ pun bilang, para tamunya cenderung lebih lama tinggal di Ubud ini daripada di hotel mereka di Jimbaran yang bernuansa pantai. Kontemplasi adalah kata kunci.

Ubud hari ini

Semua cerita itu adalah kisah Ubud sebelum pandemi datang. Itu juga adalah kisah di balik layar dari keramaian Ubud, terlepas dari pariwisata Bali secara keseluruhan.

Pertanyaannya sekarang, apa kabar Ubud ketika pandemi datang?

Pada 2019, devisa dari sektor wisata di Bali tercatat 9,34 juta dollar AS. Ini setara 55,26 persen perolehan devisa nasional dari sektor pariwisata pada tahun itu.

Sebelum pandemi datang, pengangguran terbuka—benar-benar enggak punya pekerjaan—di Bali tercatat hanya 2 persen. 

Pandemi datang, semuanya bubar. Jangankan pemasukan devisa, persentase pengangguran terbuka pun melejit ke atas 5 persen, sampai hari ini. Itu baru yang terbuka, belum yang samar-samar alias berstatus kerja atau setidaknya tetap berupaya kerja tetapi terseok-seok.

Banyak juga media massa internasional dan bahkan influencer global mengangkat perubahan situasi di Bali, tak terkecuali Ubud, setidaknya sekali. Rata-rata dalam tulisan panjang dan video dokumenter berdasarkan pengalaman nyata. 

Salah satunya, Nikkei, media Jepang, yang menggunakan judul In Ubud: Not Much to Eat, Lots of Prayer, No Love. Ini adalah satire dari judul film berdasarkan biografi dan kisah nyata, Eat, Pray, Love.

Dibintangi Julia Roberts yang memerankan Elizabet Gilbert—pelaku dan penulis biografi dengan judul yang sama—film itu memang sebagian dibuat di Ubud, sesuai perjalanan hidup Gilbert. 

Iya, Bali, tak hanya Ubud, tengah sengsara karena pandemi. Baru Ubud saja tak cuma ada Campuhan dan pariwisata kelembahannya itu, apalagi Bali yang hampir seluruh aspek keekonomiannya bersandar ke sektor pariwisata.

Beragam upaya dijadwalkan dan direncanakan. Namun, gelombang tak berkesudahan ini tak kenal kompromi, tak peduli penanganan dan angka-angka kasus di Bali relatif terkendali dibandingkan Pulau Jawa.

Entah kesan yang mana yang mau Sahabat Kompas.com terakan sekarang pada Campuhan, Ubud, atau bahkan Bali, pandemi memang bikin rasa sepi makin menjadi, berpadu dengan rasa tak berdaya pula.

Kenangan saat berkontemplasi di Bali berbaur dengan sepi dan sesak hati, bisa jadi terwakili benar oleh potongan lirik lagu Tepi Campuhan yang membuat tulisan ini terjadi: 

Sembunyi diriku dalam pelukan alam
Hindari semua kenyataan
Menggigil tubuhku sadari alam
Di sini aku kecil dan tak berarti

Duh....

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Catatan:
Artikel utuh Arsip Kompas yang dikutip di sini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data. 

https://travel.kompas.com/read/2021/07/24/144218927/berkhayal-kelana-ke-ubud-gara-gara-slank-dan-lagu-tepi-campuhan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke