Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Suku Asmat dan Legenda Patung Bernyawa

KOMPAS.com - Suku Asmat adalah suku terbesar di Provinsi Papua. Suku ini memiliki populai yang paling banyak di antara suku-suku di Papua lainnya.

"Suku Asmat mendiami dataran rendah berawa-rawa, berlumpur, dan ditutupi oleh hutan tropis. Sungai yang mengalir di daerah ini banyak sekali dan warnanya gelap karena lumpur," tulis Ummu Fatimah Ria Lestari dalam jurnal berjudul Mitos Asmat Fumiripits dalam Kajian Antropologi Sastra.

Nama suku Asmat mulai dikenal oleh khalayak pada tahun 1930. Hal tersebut bermulai dari serangan suku ini ke daerah suku Mimika.

Dalam sumber lain, Perhiasan Tradisional Indonesia karya Husni dan Siregar, suku Asmat disebut mendiami beberapa wilayah seperti Kecamatan Agat, Suwa Elma, Ady dan Pantai Kasuari.

Fumiripits digambarkan sebagai seorang pemuda pekerja keras. Suatu hari ia melihat gadis-gadis yang tengah mandi di Sungai Sirets.

Untuk menutupi dirinya dari para gadis, ia bersembunyi di sebuah perahu lesung. Ia menutupi dirinya dengan sebuah tikar.

Dalam keadaan terbungkus tikar di atas perahu lesung tersebut Fumiripits hanyut oleh aliran sungai. Ia pun terdampar di tepi Sungai Momants.

  • Asmat yang Damai dan Teduh
  • Wings Air Buka Rute dari Timika ke Asmat dan Merauke, Mulai dari Rp 600.000
  • Dunia Air Asmat

Fumiripits kemudian membangun sebuah rumah panjang sebagai tempat tinggal, tetapi ia merasa kesepian.

Ia pun membuat patung dan meletakkannya berjejer di sekitar rumahnya.

Singkat cerita, patung-patung tersebut berna-as dan hidup menjadi manusia. Patung-patung inilah yang dipercaya menjadi asal suku Asmat yang ada hingga kini.

Dilansir dari Kondisi Papua Terkini: Berangkat dari Kasus Asmat karya Widharyanto, perpaduan budaya suku Asmat dengan budaya lain mulai terjadi ketika ekspedisi orang Eropa di wilayah Pasifik, tepatnya sekitar tahun 1904.

"Ekspedisi pertama dan kedua dilakukan Lorentz dan berikutnya oleh Franssen Herderschee. Ekspedisi berikutnya dilakukan pda tahun 1922 dan 1923," jelas Widharyanto dalam tulisannya.

Sejak saat itu ekspedisi ke tanah Papua terus dilakukan. Semua ekpedisi tersebut merupakan ekspedisi ilmiah.

Ekspedisi penyebaran agama juga terjadi sekitar tahun 1912-an. Pos pertama gereja di daerah Asmat dibuka pada tahun 1953 oleh Pastor Zegwaard dan Pastor Welling.

  • Roh yang Membimbing Pengukir Asmat
  • Wajah Asmat di Agats
  • Kemeriahan Pesta Budaya Asmat

"Penduduk Kabupaten Asmat berjumlah kurang lebih 90.000-an orang. Mayoritas, sekitar 70 persen beragama Katolik dan sisanya sekitar 30 persen beragama Kristen Protestan dan Islam," tulis Widharyanto lebih lanjut.

Dilansir dari Budaya Lokal Sebagai Potensi dalam Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kabupaten Asmat karya L. Edhi Prasetya, suku Asmat memiliki sistem kepercayaan tradisional sebelum ajaran Katolik datang.

Suku ini mengenal tiga konsep dunia yaitu, amat ow capinmi yang berarti alam kehidupan sekarang, dampu ow capinmi yang artinya alam persinggahan roh yang sudah meninggal, dan safar yang berarti surga.

Menurut Prasetya, sebagian besar suku Asmat bertahan hidup dengan cara meramu. Mereka mengambil hasil alam seperti sagu, ikan, dan udang, serta berburu hewan di hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Suku ini juga menanam tumbuhan berupa umbi dan akar-akaran. Mereka hidup secara nomaden untuk mencari lahan yang cocok untuk meramu dan berkebun.

Suku Asmat dikenal sebagai pemahat dan pengrajin ukiran. Suku ini selalu identik dengan hasil karya ukir yang khas.

Dilansir dari Suku Asmat, Daerha Melahirkan Pemahat Handal yang Hidup Terpencil yang disusun Pusat Data dan Analisa Tempo, inspirasi suku Asmat dalam membuat ukiran tersimpan secara rahasia di dalam hati mereka.

  • Toraja, Suku dengan Tradisi Mendandani Orang Meninggal
  • Suku Sasak, Jadi Rebutan Kerajaan Majapahit hingga Jepang
  • Suku Batak di Sumatera Utara, Nenek Moyangnya dari Asia Selatan

Konsep dan sumber kreasi orang Asmat terjaga dari segala hiruk pikuk perubahan duniawi.

Sumber kreasi ukiran tersebut diturunkan oleh seorang pengukir pada anak laki-laki mereka saat sang anak sudah berusia 14 tahun.

"Bila rahasia ini diketahui orang di luar Asmat, kami tak lagi bisa mengukir," tutur Bernardus, seorang pengrajin ukiran dari Suku Asmat dalam buku tersebut.

Pengrajin ukiran dari suku Asmat disebut wow ipits. Mereka membuat ukiran berupa patung tiga dimensi dan ukiran dua dimensi lainnya yang biasanya berupa tameng kayu, tombak, piring kayu, dan juga terompet bambu.

Para pengrajin dulu menggunakan tulang burung kasuari sebagai alat pahat. Namun seiring perkembangan zaman, mereka mulai menggunakan alat ukir dari besi.

Sebagian kecil penduduk suku ini juga menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di kabupaten dan distrik. Ada pula yang menjadi pegawai bank, guru swasta, dan penjual berskala kecil di pasar tradisional.

Dilansir dari Perhiasan Tradisional Indonesia yang disusun oleh Husni dan Siregar, suku Asmat memiliki pakaian adat serta perhiasan atau aksesoris yang khas.

Pakaian dan aksesoris tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam upacara adat tertentu.

Busana yang dikenakan kaum pria suku ini disebut pummi. Busana ini berupa rok mini dari anyaman daun sagu yang berbentuk rumbai.

Pummi yang digunakan oleh kaum perempuan disebut dengan tok. Bedanya, rumbai tok disatukan ke belakang hingga menyerupai cawat.

Kaum perempuan juga menggunakan poin dan sanwur untuk menutupi bagian dadanya. Kedua pakaian tersebut terbuat dari anyaman daun sagu dan akar pandan sebagai tali pengikat.

  • Suku Gayo, Suku Terbesar Kedua di Aceh
  • Mengenal Suku Tengger di Kawasan Bromo, Peradaban sejak Zaman Majapahit
  • Mengenal Suku Osing di Banyuwangi, Ujung Timur Pulau Jawa

Pria suku Asmat menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari bulu bangau. Hiasan ini disebut dengan sokmet.

Satu lagi aksesoris penting yang digunakan oleh kaum pria Suku Asmat, yaitu hiasan hidung bernama bipane.

Hiasan hidung ini terbuat dari kulit siput atau kerang yang dibentuk menyerupai sabit dan dipasng di cuping hidung yang telah dilubangi. Hiasan hidung ini biasanya digunakan oleh kepala suku.

Tak hanya pria, kaum wanita juga menggunakan hiasan hidung yang disebut bi awok. Hiasan ini terbuat dari daun sagu atau daun nipah.

Suku Asmat juga memiliki perhiasan lainnya seperti juprew dan kasuomer yang berupa hiasan kepala, tisen pe dan juwursis yang berupa kalung, serta sofbetan atau sinenke dan barok yang berupa gelang di tangan dan kaki.

Menurut Fauziah dalam jurnalnya yang berjudul Karakteristik Arsitektur Tradisional Papua, rumah adat suku Asmat yang tinggal di pesisir pantai berupa rumah panggung dengan bentuk persegi empat.

Suku ini membentuk pemukiman di sepanjang garis pantai yang dekat dengan muara sungai. Pemukiman suku Asmat memiliki pola liner berderet mengikuti bentuk garis pantai.

Rumah tradisional ini disebut Rumah Jew. Suku Asmat menggunakan anyaman daun sagu dan nipah sebagai atap rumah.

Sementara itu dinding rumah terbuat dari kulit kayu atau papan yang disusun. Pengikat antar sambungan dinding dan kerangka menggunakan tali rotan dan akar pohon.

"Setiap kampung mempunyai satu rumah bujang yang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan dan banyak rumah keluarga," imbuh Prasetya dalam jurnalnya.

Sumber:

Pusat data dan Analisa Tempo. 2019. Suku Asmat, Daerah Melahirkan Pemahat Handal yang Hidup Terpencil. TEMPO Publishing

Husni, M. & T.R. Siregar. 2000. Perhiasan Tradisional Indonesia. Direktorat Permuseuman, Direktorat Jendral Kebudayaan

Lestari, U.F. Ria. 2014. Mitos Asmat Fumiripits dalam Kajian Antropologi Sastra. Jurnal Gramatika. 2(1). Hal: 17-28

Widharyanto. 2013. Kondisi Papua Terkini: Berangkat dari Kasus Asmat. Universiras Sanata Dharma Yogyakarta

Prasetya, L.E. 2013. Budaya Lokal sebagai Potensi dalam Penyembangan Kasawan Ekonomi Khusus (KEK) Kabupaten Asmat. Simposium Nasional RAPI XII. Hal: 23-30

Fauziah, N. 2014. Karakteristik Arsitektur Tradisional Papua. Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT)2. Hal: 19-29

https://travel.kompas.com/read/2021/08/26/142909227/suku-asmat-dan-legenda-patung-bernyawa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke