Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Strategi Travel Bubble untuk Bangkitkan Sektor Pariwisata

SEBELUM Covid-19 perjalanan dan pariwisata telah menjadi salah satu sektor terpenting dalam ekonomi dunia. Sektor ini menyumbang 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) global dan lebih dari 320 juta pekerjaan di seluruh dunia.

Pada 1950, pada awal era jet, hanya 25 juta orang yang melakukan perjalanan ke luar negeri. Pada 2019, jumlahnya telah mencapai 1,5 miliar. Sektor perjalanan dan pariwisata telah tumbuh ke proporsi yang begitu besar sehingga mustahil mengalami kegagalan di banyak negara.

Berdasarkan data UNWTO (The World Tourism Organization - Organisasi Pariwisata Dunia PBB) 2017 dan 2018, cukup banyak negara di dunia yang ekonominya sangat bergantung pada pariwisata.

Sektor pariwisata berkontribusi lebih dari 10 persen dari PDB di negara-negara tersebut. Tiga negara yang eknominya sangat sangat bergantung pada sektor pariwisata adalah Maladewa dengan 57,8 persen dari PDB, Palau (42,2 persen), dan Vanuatu (37,1 persen).

Indonesia memang termasuk dalam kelompok negara yang kontribusi pariwisatanya terhadap ekonomi relatif masih kecil (kurang dari 2,5 persen dari PDB). Namun, dalam beberapa tahun terakhir terlihat tren pertumbuhan sektor pariwisata yang sangat pesat.

Pukulan berat pandemi Covid-19

Sayang, serangan Covid-19 mengubah potret tersebut. Menurut UNWTO, pandemi Covid-19 telah menempatkan 100 juta pekerjaan dalam risiko, 54 persennya dari UKM sektor pariwisata yang mempekerjakan sebagian besar perempuan.

UNWTO menyebutkan, salah satu kawasan yang sektor pariwisatanya paling terimbas oleh pandemi Covid-19 adalah Asia Tenggara. Di kawasan ini kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB menyusut sebesar 53 persen.

Kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB Indonesia pun merosot, dari Rp1.153,4 trilun (2019) menjadi Rp 1.049.5 triliun pada 2020.

Ini terjadi akibat jumlah kedatangan wisatawan asing merosot 75,03 persen dari 16.106.954 pada 2019 menjadi 4.022.505 pada 2020.

Kedatangan wisawatan Nusantara turun 29,93 persen dari 282.925,854 (2019) menjadi 198.246.000 (2020).

Jumlah pertukaran mata uang asing turun 80,82 persen dari 16,91 miliar dolar AS (2019) menjadi 3,24 miliar dolar AS (2020).

Sementara jumlah tenaga kerja bidang pariwisata merosot 6,67 persen dari 14,96 juta (2019) menjadi 13,97 juta (2020).

Mempromosikan pariwisata domestik

Agar sektor pariwisata Indonesia bangkit lagi, pemerintah memang perlu menerapkan sejumlah kebijakan atau langkah strategis.

Salah satu yang penting adalah merangsang perjalanan domestik ketika larangan perjalanan internasional masih berlaku.

Dalam konteks itu, menurut saya, adalah sangat tepat kalau pemerintah melalui Menparekraf gencar mengampanyekan lima destinasi pariwisata super prioritas, yaitu Borobudur di Jawa Tengah, Danau Toba (Sumatera Utara), Likupang (Sulawesi Utara), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur).

Sangat tepat pula ketika Kemenparekraf mencanangkan Program Work From Bali bagi aparatur sipil negara (ASN) di tujuh kementerian/lembaga (K/L) di bawah Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk menumbuhkan kembali ekonomi yang sempat kontraksi hingga minus 9 persen.

Kebijakan yang strategis dan insentif yang tepat memang perlu diperluas supaya pariwisata domestik dapat memimpin rebound di fase awal pemulihan.

Sebab, secara teknis, pariwisata domestik memiliki potensi untuk sepenuhnya menggantikan pengunjung asing.

Data Kemenparekraf 2019 menunjukan, terdapat 16,12 juta wisatawan asing masuk ke Indonesia, dan sekitar 6,5 juta wisatawan Indonesia yang melakukan perjalanan ke luar negeri.

Sementara pada 2020, jumlah wisatawan asing merosot sebesar 74,84 persen sehingga menjadi 4.052.923 kunjungan saja.

Jika semua turis domestik outbond tinggal di Indoensia maka Indonesia dapat memperkecil angka kemeresotan kunjungan tersebut.

Memang pariwisata domestik relatif mudah untuk dipromosikan. Tetapi, pariwisata domestik juga memiliki beberapa tantangan tersendiri seperti operasi terbatas maskapai penerbangan dan hotel karena pemberlakukan PPKM, rendahnya minat wisatawan lokal ke destinasi domestik, rendahnya permintaan karena ketakutan orang akan infeksi, dan pendapatan masyarakat yang berkurang akibat pandemik Covid-19.

Travel bubble bilateral

Langkah strategis lainnya adalah mengembangkan "gelembung perjalanan" atau travel bubbles yang sering juga disebut sebagai jembatan perjalanan (travel bridges) atau koridor korona (corona corridors)

Sejatinya, konsep travel bubble adalah perluasan dari konsep "gelembung sosial". Orang memperluas zona karantina mereka untuk memasukkan lebih banyak orang yang mereka anggap aman.

Dalam memberlakukan travel bubble pemerintah dapat mengizinkan masuknya pengunjung untuk perjalanan bisnis saja atau juga termasuk perjalanan liburan dari negara lain melalui gelembung perjalanan atau koridor hijau.

Travel bubble biasanya memerlukan pengujian sebelum keberangkatan, setelah kedatangan, dan periode karantina yang lebih pendek.

Travel bubble pertama di Asia dan Pasifik terjadi antara Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Korea pada 1 Mei 2020. Itu terbatas pada pelancong bisnis yang memiliki undangan dari perusahaan di negara lain.

Negara Asia lainnya yang sudah menerapkan travel bubble adalah Thailand. Pemerintah Thailand mengharuskan wisman yang datang untuk melakukan karantina di daerah Phuket selama lima hari. Setelah lolos karantina dan dinyatakan sehat, barulah wisman tersebut boleh melancong di kota lainnya.

Biasanya, travel bubble bilateral dipertimbangkan hanya jika negara-negara yang terlibat, sudah melampaui puncak infeksi baru mereka. Tingkat kesiapsiagaan pandemi juga menjadi faktor penting keberhasilan penerapan strategi ini.

Kita bersyukur, setelah tertunda beberapa kali, pemerintah melalui kementerian terkait seperti Kemenpar, Kemenlu, dan Kemenkum HAM telah melakukan MoU dengan pemerintah Singapura terkait travel bubble pada Selasa 14 Setepmber 2021.

Tentu saja ini adalah langkah yang tepat agar kunjungan wisatawan asal Singapura dapat berkunjung ke Lagoi, Batam dan Bintan Kepulauan Riau.

Travel bubble subregional

Skenario lain yang dapat dikembangkan adalah travel bubble subregional. Skenario ini mengasumsikan bahwa perjalanan dalam gelembung subregional akan mencapai tingkat pra-pandemi.

Hipotesisnya adalah bahwa gelembung perjalanan mungkin muncul di sekitar lembaga subregional atau kelompok ekonomi yang ada. Misalnya travel bubble dalam konteks Program Kerjasama Masyarakat Ekonomi Asia Tenggara (MEA).

Travel bubble di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) perlu dikembangkan karena potensi kunjungan wisawatan antara negara ASEAN cukup besar.

Secara kumulatif, 10 negara anggota memiliki populasi hampir 600 juta dengan tingkat pertumbuhan kelas menengah yang besar. Kondisi ini merupakan potensi yang dapat mendorong peningkatkan sektor pariwisata

Beberapa catatan

Terkait strategi ini, Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) menyebutkan, persyaratan yang mutlak dipenuhi untuk perjalanan bilateral adalah negara dengan tingkat risiko epidemiologi yang sama, tren infeksi yang stabil atau menurun, respons kesehatan masyarakat yang efektif, dan langkah-langkah mitigasi dasar yang memadai.

Selain memasukkan langkah-langkah pencegahan epidemi, kebijakan travel bubble perlu didukung oleh teknologi digital dan aplikasi telepon seluler untuk mengontrol lokasi dan memantau pergerakan wisawatan.

Selain itu, pemerintah perlu membuat konsensus dengan industri pariwisata dan merancang agar tingkat harga produk pariwisata yang ditawarkan harus sesuai dengan mekanisme pasar. Harga produk wisata harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang terdampak Covid-19.

Dan yang juga penting, para agen perjalanan perlu merencanakan agenda perjalanan bukan hanya berbasis biaya, tetapi berbasis peta dan data infeksi Covid-19 terbaru.

Dengan begitu, pelaku travel bubble benar-benar aman dari bahaya infeksi Covid-19. Sebab, andaikata pelaku travel bubble terinfeksi Covid-19, maka citra pariwista akan menjadi kembali jatuh terpuruk. 

https://travel.kompas.com/read/2021/09/22/163834727/strategi-travel-bubble-untuk-bangkitkan-sektor-pariwisata

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke