Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar dari Krisis, Saatnya Membangun Resiliensi Sektor Wisata

Oleh: Frangky Selamat

BERAWAL dari menyebarnya virus corona baru yang diberitakan kali pertama merebak di Wuhan, China, pada Desember 2019, lalu merambah ke berbagai belahan dunia, berproses hingga menjadi pandemi.

Sebuah bencana kesehatan yang mengubah aktivitas kehidupan menjadi penuh ketidakpastian. Terjadilah krisis berkepanjangan yang tidak pernah dialami umat manusia sebelumnya.

Krisis dapat dirumuskan sebagai peristiwa dengan probabilitas rendah yang menghasilkan konsekuensi yang parah bagi individu, organisasi dan masyarakat (Doern, 2016). Krisis seperti pandemi COVID-19 adalah peristiwa sangat langka dan tidak dapat diprediksi.

Sektor pariwisata adalah salah satu bidang yang mengalami pukulan pertama kali, mungkin yang paling menderita dan bisa jadi membutuhkan pemulihan yang lebih lama ketimbang sektor lain.

Memang, ini bukan kali pertama pariwisata mengalami pukulan karena krisis. Sepanjang abad ke-21 tercatat tiga krisis besar yang memukul industri pariwisata sebelum pandemi saat ini (Aldao dkk, 2020).

Pertama, serangan teroris terhadap Amerika Serikat yang meruntuhkan menara kembar WTO pada 2001 yang memunculkan ketakutan di sejumlah negara akan serangan lanjutan. Perjalanan wisata sempat dibayangi rasa cemas terkait faktor keamanan.

Kedua, wabah virus SARS pada 2003 yang memberikan dampak lebih kuat terhadap turis untuk melakukan perjalanan lintas negara, daripada serangan teroris pada 2001, dengan ditutupnya perbatasan beberapa negara untuk mencegah meluasnya penyebaran virus ini.

Ketiga, krisis finansial global pada 2007-2008 yang dikenal sebagai subprime mortgage crisis yang dipicu oleh kolapsnya pasar perumahan di Amerika Serikat.

Walau sektor wisata tidak terdampak signifikan, ekonomi di beberapa negara cukup terguncang. Goyangannya juga merembet ke sektor wisata.

Jika diperhatikan, mayoritas pemicu krisis adalah bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sendiri, seperti terorisme atau masalah ekonomi, jika tidak mau menyalahkan alam yang melahirkan virus penyebab wabah.

Bencana yang berkelanjutan dan belum menemukan titik terang itulah yang melahirkan krisis.

Pertama, dimensi psikologis. Pandemi telah menurunkan motivasi individu untuk melakukan perjalanan wisata. Rasa cemas, takut, marah, panik dan trauma psikologis menghantui para turis (Zurich, 2020).

Kedua, dimensi pemeliharaan kesehatan. Walau sejumlah negara telah mencabut kewajiban karantina bagi turis asing yang berkunjung, kebijakan ini sewaktu-waktu dapat berubah.

Ledakan kasus di Eropa dan beberapa negara Asia membuat perjalanan wisata berisiko tinggi sekalipun kewajiban karantina diberlakukan kembali.

Ketiga, dimensi sosial. Pandemi yang berkepanjangan telah mengubah nilai dan kebiasaan sosial, termasuk cara menjalankan aktivitas wisata. Bentuk staycation, perjalanan individu atau kelompok-kelompok kecil dalam rangka social distancing, menjadi kebiasaan baru.

Keempat, dimensi teknologi. Pandemi yang mengakibatkan krisis telah memaksa transformasi teknologi lebih cepat dari yang diduga sebelumnya.

Virtual tourism sempat ditawarkan menjadi alternatif bagi mereka yang telah merindukan melakukan perjalanan wisata.

Walau sepertinya tidak lagi menjadi pilihan, seiring dengan kondisi yang lebih terkendali, pemanfaatan teknologi menjadi keniscayaan dalam perjalanan wisata minimal untuk mengendalikan mobilitas aktivitas wisatawan di lokasi destinasi.

Kelima, dimensi lingkungan. Masa sebelum pandemi adalah saat sejumlah destinasi mengeluhkan over tourism. Ketika krisis hadir, destinasi berubah senyap. Berita baiknya adalah emisi karbon merosot drastis dan lingkungan hidup seperti terlahir kembali.

Memang ada kekhawatiran sisa buangan masker yang sulit didaur ulang akan menjadi limbah yang merusak lingkungan.

Membangun resiliensi

Menghadapi itu pengelola destinasi patut membangun resiliensi melalui penerapan manajemen krisis. Resiliensi adalah istilah yang biasa dikenal dalam dunia psikologi terkait dengan kemampuan seseorang untuk bangkit ketika menghadapi kesulitan.

Tidak hanya itu, tetapi juga mampu untuk mengatasi rasa sakit yang kemudian bertransformasi agar tetap bertahan menjalani kehidupan.

Resiliensi destinasi wisata yang tercipta akan mendorong lepas dari krisis. Terdapat empat tahap berurutan yang mesti dijalani melalui model siklus (Lew dkk, 2020), yaitu sistem yang kolaps, reorganisasi, tumbuh dan konsolidasi.

Fase kolaps telah dijalani yang meliputi kebijakan seperti social distancing, lockdown, jam malam, dan penutupan pusat belanja, restoran, kafe, toko dan perbatasan.

Di Indonesia dikenal dengan kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dengan berbagai versi hingga sekarang menjadi PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat).

Selanjutnya adalah fase reorganisasi yang hingga kini masih berjalan ketika pengelola membangun kembali struktur organisasi dan mengalokasikan kembali sumber daya agar memiliki kemampuan inovasi dan kreatif di masa krisis.

Manakala proses reorganisasi telah mulus dijalankan, fase tumbuh telah menanti. Pengelola destinasi memainkan peran kunci dalam kampanye pemasaran untuk memulai kembali aktivitas pariwisata.

Peran pemerintah untuk menjalin kolaborasi dengan negara lain dalam rangka mendatangkan kembali turis manca negara menjadi keniscayaan.

Fase yang terakhir adalah konsolidasi. Dalam jangka panjang transformasi yang terjadi akan menyiapkan wisatawan yang lebih bertanggung jawab dan berorientasi lingkungan.

Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa organisasi yang menjalankan strategi berwawasan lingkungan akan menjadi lebih kompetitif daripada yang tidak. Isu-isu mengenai lingkungan menjadi aspek yang lebih dipertimbangkan ketika berwisata.

Menciptakan pariwisata yang cerdas membuat industri wisata akan lebih siap ketika menghadapi krisis lain, yang masih sangat mungkin terjadi, di masa mendatang.

Memang, krisis belum berakhir. Namun tidak ada salahnya mengambil pelajaran agar jika terjadi krisis serupa pada masa mendatang, sektor wisata akan lebih cepat tanggap dan bertahan secara tepat.

Dalam dunia yang semakin penuh ketidakpastian, cuma perubahan itu sendiri yang sudah pasti. Membangun resiliensi melalui manajemen krisis menjadi sebuah kepatutan yang tidak bisa ditunda lagi.

Frangky Selamat
Dosen tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Tarumanagara

https://travel.kompas.com/read/2021/11/29/161750227/belajar-dari-krisis-saatnya-membangun-resiliensi-sektor-wisata

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke