Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Nilai Kehidupan di Balik "Dark Tourism"

MATAHRI kian beranjak tinggi, meninggalkan pagi yang sejuk, di halaman parkir Merapi Park, Sleman, Yogyakarta. Deretan jeep Willys buatan tahun 1947 berjejer rapi menanti wisatawan yang ingin menjelajahi sisa-sisa erupsi Merapi dalam paket Lava Tour.

Paket yang ditawarkan meliputi beragam kunjungan ke bekas rumah penduduk yang kini berubah menjadi museum mini “Sisa Hartaku”, berfoto di taman “The Lost World Park”, melihat batu besar sisa letusan yang disebut “Batu Alien”, mengunjungi bunker Kaliadem yang menjadi saksi bisu ganasnya letusan Merapi atau mengunjungi makam Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi.

Di akhir tur, peserta dapat “bermain air” sambil direkam atau berfoto dengan bantuan jasa foto di sebuah lintasan off road ringan bebatuan dalam genangan air Kalikuning.

Dalam keriaan, peserta tur sesungguhnya sedang menapak tilas jejak erupsi Merapi yang terakhir meletus dahsyat pada 2010. Rasa ngeri muncul ketika melihat bekas letusan, meninggalkan harta benda yang telah terpanggang panas, atau sisa-sisa tulang belulang hewan ternak yang tak sempat diselamatkan.

Namun dibalik “kengerian” itu ada kegembiraan menjelajahi keindahan alam di sekitar Gunung Merapi yang berdiri gagah dan lebih sering tertutup awan jika hari menjelang siang.

Seperti siang itu yang berawan dan terbilang sepi karena tidak banyak peserta Lava Tour yang datang.

“Liburan kali ini memang sepi daripada tahun lalu,” kata seorang driver Jeep.

Semangatnya memandu wisatawan yang datang tidak luntur. Dia tetap ramah menjelaskan dan menjawab pertanyaan peserta tur yang cerewet berceloteh.

Dark tourism

Tanpa disadari sesungguhnya Lava Tour atau paket-paket sejenis adalah bagian dari dark tourism. Sebuah istilah yang merujuk pada aktivitas perjalanan dan kunjungan ke tempat, atraksi, dan eksibisi yang memiliki kenyataan atau yang “dihidupkan” kembali tetapi terkait dengan kematian, penderitaan atau sesuatu yang mengerikan sebagai tema utama (Stone, 2005).

Lennon dan Folley (2000) melukiskan dark tourism sebagai relasi antara minat pada kematian dan kengerian dengan atraksi turisme.

Ruane (2004) menyebutkan bahwa bencana dan kematian tampaknya menjadi komoditas menguntungkan yang dapat dipasarkan dalam industri pariwisata. Aktivitas ini juga diakui sebagai ceruk pariwisata tersendiri atau wisata dengan minat khusus.

Lebih lanjut, dark tourism dipandang sebagai penjaga warisan sejarah (Seaton, 2009). Di destinasi itu jugalah distribusi informasi yang efektif mengenai sejarah tempat dan nilai sejarah itu sendiri, memungkinkan wisatawan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai “kengerian” pada masa lalu.

Dengan kata lain dark tourism berperan sebagai alat unifikasi masa lalu, kini, dan masa depan, yang memperkaya sejarah dan warisan kepada para turis (Tan & Lim, 2017).

Pertama adalah ketertarikan yang tidak wajar pada kematian (Seaton & Leanon, 2004). Sebagian manusia masa kini menaruh minat pada bagaimana kematian menjemput ketika bencana tiba-tiba datang. Misteri itu mendorong kunjungan ke tempat-tempat “gelap” di masa lalu.

Kedua, melakukan perenungan mengenai hidup dan mati (Stone & Sharpley, 2008). Sejumlah wisatawan mencoba berkontemplasi tentang kehidupan dan kematian melalui kunjungan ke destinasi bekas bencana, kemudian memetik hikmah untuk kehidupan yang kini dijalani.

Ketiga, kerinduan dan rasa ingin tahu untuk memahami peristiwa mengerikan seperti bagaimana insiden itu dapat terjadi (Biran dkk, 2012). Kronologi peristiwa menjadi bagian dari pengalaman yang dicari.

Yang patut diingat adalah motivasi wisatawan yang datang tentu bersifat subjektif dan unik, bergantung pada bagaimana mereka menafsirkan pengalaman yang diperoleh.

Nilai kehidupan

Indonesia sebagai negara yang sarat akan bencana alam memiliki potensi dan peluang besar untuk mengembangkan dark tourism. Namun, harus tetap memperhatikan rambu-rambu yang patut ditaati agar tidak sekadar mengeksploitasi bencana demi mengeruk keuntungan turisme semata.

Wisata erupsi Merapi di Yogyakarta dan wisata Tsunami di Aceh bisa dibilang contoh dark tourism yang dikelola dengan baik dan sarat nilai.

Kedua, nilai religius. Hidup dan mati adalah misteri kehidupan. Hanya iman kepada Tuhan yang dapat menjawabnya. Ketika wisatawan mengunjungi destinasi bekas bencana, nilai-nilai religius itu dapat kembali muncul.

Ketiga, ilmu pengetahuan. Saat yang menyenangkan ketika belajar mengenai fenomena bencana alam adalah langsung berkunjung di tempat bencana itu pernah terjadi. Melihat sendiri fakta emperis, tak cuma gambar rekaan saja.

Sesungguhnya, ketimbang hanya berfoto-foto semata mengabadikan bencana dan kengerian di masa lalu, mengunjungi destinasi dark tourism menawarkan nilai lebih tentang arti kehidupan yang hakiki.

Relasi manusia dengan alam dan sang Pencipta yang kerap kali terlupa atau diabaikan dalam derap kehidupan masyarakat urban yang haus akan hiburan. Dark tourism memberikan penawar dahaga itu.

*Frangky Selamat adalah dosen tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untar.

https://travel.kompas.com/read/2022/01/09/075012327/nilai-kehidupan-di-balik-dark-tourism

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke