Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

SMAN 19 Jakarta, Perjalanan THHK dan Etnis Tionghoa dalam Pendidikan

KOMPAS.com - Sebagian orang yang melintas di depan SMAN 19 Jakarta mungkin menganggapnya sebagai bangunan sekolah biasa pada umumnya.

Namun, komplek pendidikan berisi TK sampai SMA di Jalan Perniagaan nomor 31, Jakarta Barat ini rupanya adalah saksi bisu pergerakan etnis Tionghoa dalam hal pendidikan.

Bangunan yang ditempati SMAN 19 tersebut merupakan gedung bersejarah yang dulunya dibangun oleh sebuah organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada 17 Maret 1900. Meski sudah berdiri lama, namun bangunannya tampak masih kokoh berdiri.

Kompas.com belum lama ini sempat berpartisipasi dalam sesi walking tour

Mengutip Kompas.com, pendiri organisasi tersebut adalah Lie Kim Hok dan Phoa Keng Hek. THHK secara resmi diakui Pemerintah Belanda pada 3 Juni 1900.

"Tujuan awalnya untuk mendorong orang-orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia (dulu Hindia Belanda) untuk mengenal identitas mereka," jelas pemandu tur bernama Hans, saat kegiatan Lunar Festival Walking Tour, Minggu (30/1/2022).

Para pendirinya menginginkan masyarakat Tionghoa untuk mengenal kebudayaan mereka, agar dapat bersatu dan tidak dipengaruhi Belanda.

Proses pengenalan budaya atau identitas ini salah satunya dengan penyebarluasan ajaran Kong Hu Cu.

Dalam buku The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia, disebutkan bahwa para siswa juga belajar huruf dan karakter Mandarin agar dapat memahami bacaan Konfusius.

Konon, organisasi THHK inilah yang menjadi inspirasi pendidian organisasi modern Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908.

Setahun kemudian, THHK mendirikan sebuah sekolah modern bagi masyarakat Tionghoa di Batavia, yang disebut dengan Tiong Hoa Hak Tong.

"Dulu orang-orang Tionghoa dan pribumi kan dilarang sekolah sama orang Belanda. Jadi akhirnya orang Tionghoa membuat sekolah sendiri yaitu Tiong Hoa Hak Tong," jelas Hans.

"Mereka berpikir, 'Masa kita gak bisa atau gak boleh belajar', begitu," lanjut dia.


Menurutnya, Belanda pada saat itu mengizinkan sekolah tersebut berdiri dengan syarat selain menggunakan bahasa Mandarin, juga memakai bahasa Belanda.

Sekolah yang dimulai dengan 32 siswa ini menjadi sekolah swasta modern pertama di Hindia Belanda.

Pada perkembangan selanjutnya, sekolah THHK yang berlokasi di Jalan Patekoan ini disebut menjadi Pa Hua.

Melansir Kompas.com, pengamat budaya Tionghoa peranakan David Kwa menyebutkan bahwa awalnya THHK menempati bangunan arsitektur Tionghoa beratap "ekor walet" lengkap dengan sepasang batu singa di depannya.

Setelah tentara Jepang menyerah pada tahun 1945, SD, SMP, dan SMA dibuka kembali secara lengkap.

Namun, pada 1952, karena dianggap terlalu sempit dan tidak memadai, maka bangunan bersejarah itu dihancurkan dan di atasnya dibangun gedung bertingkat.

Pasca peristiwa G30S 1965, sekolah ini ditutup karena dianggap berafiliasi dengan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

"Lalu kemudian diambil alih oleh pemerintah dan dijadikan SMAN XIX, nama lainnya Cap Kau. Jadi dulu dikenalnya dengan SMA Cap Kau, artinya 19. Kalau kenapa disebut 19, belum ada informasinya," kata Hans.

  • Bagua dan Berbagai Tradisi Tionghoa yang Masih Dilakukan Hingga Kini
  • Sembahyang Arwah Leluhur dalam Budaya Tionghoa, Apa Maknanya?
  • Sejarah dan 5 Fakta Lain Seputar Angpao di Budaya Tionghoa

Sejauh pemantauan Kompas.com, Minggu (30/01/2022), terlihat beberapa sekolah yang berada dalam satu area ini, di antaranya TK Perniagaan, SDN Tambora, SMPN 63, dan SMAN 19. 

Sayangnya, peserta tur tidak diperkenankan masuk ke lapangan di balik gedung utama karena ditutup akibat pandemi. 

Dengan sejarah tersebut, bangunan SMAN 19 yang masih kokoh menjadi saksi bisu perjalanan pergerakan pendidikan etnis Tionghoa di Batavia hingga kini.

https://travel.kompas.com/read/2022/02/06/124326627/sman-19-jakarta-perjalanan-thhk-dan-etnis-tionghoa-dalam-pendidikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke