Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Dandangan, Tabuh Bedug Jelang Ramadhan Warisan Sunan Kudus

KOMPAS.com - Masyarakat Kabupaten Kudus, Jawa Tengah mempunyai tradisi menyambut kedatangan bulan Ramadhan, yakni dandangan atau dhandhangan. 

Tradisi dandangan merupakan warisan dari Sunan Kudus yang masih dilestarikan hingga saat ini. Salah satu rangkaian tradisi dandangan adalah pemukulan bedug Masjid Menara Kudus yang menandai awal bulan Ramadhan.

Berikut sejarah lengkap tradisi dandangan, makna, serta rangkaian perayaan:

Sejarah dandangan di Kudus

W. Dasanti dalam bukunya Mengenal Perayaan Tradisional (2019), mengungkapkan bahwa tradisi dandangan bermula sejak 450 tahun lalu.

Tepatnya, saat Syekh Djafar Sodiq atau lebih dikenal sebagai Sunan Kudus mulai memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah bagian utara.

Sunan Kudus merupakan salah satu Wali Songo yang dikenal sebagai ahli fikih dan ilmu falak. Selain itu, Sunan Kudus merupakan seorang pujangga sekaligus senopati Kerajaan Islam Demak Bintoro.

Sehari menjelang puasa, ratusan santri Sunan Kudus berkumpul di Masjid Menara Kudus. Mereka menunggu pengumuman dari sang guru tentang awal bulan Ramadhan.

“Para santri tersebut tidak hanya berasal dari Kota Kudus, tetapi juga daerah sekitarnya seperti Kendal, Semarang, Demak, Pati, Jepara, Rembang, bahkan sampai Tuban, Jawa Timur,” tulisnya dikutip Kompas.com, Minggu (27/3/2022).

Sehari sebelum Ramadhan, selepas solat Ashar, Sunan Kudus langsung mengumumkan awal bulan Ramadhan. Pengumuman ini dilanjutkan dengan pemukulan bedug yang berbunyi ‘dang dang dang’

Suara bedug yang bertalu-talu itulah menjadi tanda khusus permulaan awal Ramadhan. Nama dandangan sendiri diambil dari suara bedug di Masjid Menara Kudus tersebut.

“Berawal dari suara ‘dang dang dang’ setiap menjelang puasa, masyarakat Kudus mengadakan tradisi dandangan,” imbuh Dasanti dalam bukunya.

Berdasarkan informasi dari situs Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1/1/2016), pengumuman awal bulan Ramadhan dilakukan di pelataran Masjid Menara Kudus dengan memukul bedug di dua waktu.

Pemukulan bedug pertama ditujukan untuk mengumpulkan masyarakat. Sedangkan, pemukulan bedug di kedua merupakan keputusan sekaligus membuka awal bulan Ramadhan, yakni setelah Shalat Isya.

Pengumuman awal bulan puasa itu dihadiri oleh murid-murid Sunan Kudus, seperti Sultan Trenggono dari Kerajaan Demak, Sultan Hadirin dari Jepara, hingga Aryo Penangsang dari Jipang.

Masyarakat dari luar Kudus, juga antusias menunggu pengumuman di depan Masjid Menara Kudus.

Perkembangan dandangan

W. Dasanti dalam bukunya Mengenal Perayaan Tradisional (2019) menuturkan, tradisi dandangan saat ini mulai berkembang.

Tak sekadar mendengarkan informasi penetapan awal puasa dari Masjid Menara Kudus, tradisi dandangan berkembang menjadi kegiatan ekonomi dan sosial.

Salah satu rangkaian dalam perayaan dandangan adalah pasar malam yang digelar satu minggu sebelum Ramadhan.

“Bentuk perayaan dandangan adalah pasar malam berlokasi di Masjid Menara Kudus, sepanjang Jalan Sunan Kudus, dan sekitarnya,” tulisnya.

Pada pasar malam ditemukan banyak pedagang yang menjual aneka makanan dan minuman, pakaian, sepatu, hiasan keramik, mainan anak-anak, kebutuhan rumah tangga, dan lainnya.

Para pedagang ini tidak hanya berasal dari Kudus, tapi juga dari daerah sekitar bahkan Jawa Barat dan Jawa Timur.

Informasi dari situs Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1/1/2016), juga mengungkapkan hal serupa.

Masyarakat yang datang ke Masjid Menara Kudus, memanfaatkan waktu menunggu dengan berjualan makanan tradisional siap saji.

Hal tersebut menyebabkan banyak pedagang di sekitar masjid sehingga menjadi pasar kaget atau pasar malam. Lambat laun, kegiatan itu menjadi bagian dari tradisi dandangan.

Biasanya, pasar malam digelar sepuluh hari menjelang bulan Ramadhan. Jumlah pedagang mulai meningkat memasuki tahun 1980-an.

Kirab dandangan

Saat ini, tradisi Dandangan juga menampilkan Kirab Dandangan yang merepresentasikan budaya di Kota Kretek.

Mengutip Kompas.com (17/5/2018), Kirab Dandangan dilakukan dengan mengitari alun-alun kota sejauh satu kilometer dengan berjalan kaki.

Para peserta Kirab Dandangan berasal dari berbagai elemen masyarakat, seperti pelajar, mahasiswa, warga desa wisata, dan lainnya. Sampai di depan pendopo Kabupaten Kudus, peserta kirabberatraksi di depan Bupati Kudus beserta jajarannya.

Kirab dandangan ini diikuti ribuan peserta, sebut saja pada 2018 lalu peserta kirab mencapai sekitar 1.000 peserta dari berbagai kalangan. Pada akhir acara, warga yang menonton menyerbu aneka makanan yang dibawa peserta kirab.

Dandangan 2022

Lantas, bagaimana perayaan dandangan 2022 di tengah pandemi Covid-19? Berdasarkan informasi dari Antara, (14/2/2022), Pemerintah Kabupaten Kudus memperkirakan akan meniadakan pasar malam pada tradisi dandangan.

Pasalnya, Kota Kretek itu masih berada dalam status pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3.

"Sebetulnya masih dalam kajian untuk menentukan tradisi dandangan di Kudus bisa digelar atau tidak. Akan tetapi, saya memastikan keputusannya mengarah tidak akan terlaksana karena banyak hal yang dipertimbangkan," kata Bupati Kudus Hartopo dikutip dari Antara.

Hingga kini, tercatat sudah dua tahun pasar malam dalam tradisi dandangan ditiadakan karena pandemi Covid-19. Padahal sebelum pandemi, pasar malam pada tradisi dandangan mampu menampung sekitar 500 pedagang.

https://travel.kompas.com/read/2022/03/27/210100127/sejarah-dandangan-tabuh-bedug-jelang-ramadhan-warisan-sunan-kudus

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke