Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Puasa di Swiss, 16 Jam Tanpa Kumandang Azan Maghrib 

KOMPAS.com - Bulan Ramadhan di Indonesia identik dengan berbagai tradisi mulai dari ngabuburit, buka puasa bersama (bukber), membangunkan sahur dari masjid, hingga berburu menu khas Ramadhan. 

Namun, tidak semua tradisi tersebut bisa dirasakan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri. Utamanya, jika muslim di negara tersebut merupakan minoritas, salah satunya di Swiss.

Destrianita Frick, atau akrab disapa Tita membagikan pengalamannya menjalani ibadah puasa di Frauenfeld, Swiss kepada Kompas.com. Perempuan yang sudah menetap di Swiss selama 4,5 tahun ini mengakui, puasa di sana lebih menantang dibandingkan di Indonesia. 

  • Cerita WNI Jalani Puasa Ramadhan di Turki, Ini 5 Hal Unik yang Dialami
  • Cerita WNI Puasa di Wakayama Jepang, Tak Ada Azan sebab Masjid Jauh

“Hari pertama, hari kedua puasa itu rasanya berat banget, ya Allah aku bisa enggak ya puasa, mana buka puasanya lama. Tapi sekarang Alhamdulillah sudah menyesuaikan,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com. 

Puasa 16 jam di Swiss

Tita mengungkapkan, durasi puasa di Swiss kurang lebih 16 jam. Imsak di Swiss adalah pukul 05.00 waktu setempat. Sementara, waktu azan Maghrib baru tiba pukul 20.00 waktu setempat. 

“Jadi, puasanya dari pukul 05.00 pagi sampai dengan 20.00 malam,” katanya. 

Menariknya, mendekati akhir bulan Ramadhan durasi puasa makin panjang. Sebab, waktu Imsak di Swiss semakin cepat, sebaliknya waktu Maghrib semakin lambat.

“Jadi, durasinya semakin panjang bukan semakin pendek. Aku awal puasa, Imsak pukul 05.00 dan bukanya pukul 20.00 malam. Sekarang itu, pukul 05.00 kurang sudah Imsak dan buka puasanya pukul 20.00 lebih, jadi semakin panjang,” ujarnya. 

Mau tidak mau, Tita harus mengatur siasat agar puasanya berjalan lancar. Ia mengungkapkan, kuncinya adalah melakukan aktivitas, mulai dari belanja, bermain dengan anak, memasak, membersihkan rumah, merajut, dan berjalan santai. 

“Kuncinya, dibuat untuk aktivitas saja. Sebab, kalau dipakai buat tidur itu puasanya justru terasa lebih lama, itu aku dapat rahasianya dari ibuku,” katanya. 

Meskipun puasa, Tita masih tetap melakoni usaha rumahannya yakni berjualan bakso Wonogiri. Kebetulan, ibu satu anak ini berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah yang memang tersohor dengan kelezatannya baksonya. 

Mulanya, ia memasak bakso Wonogiri untuk sang suami yang merupakan warga Swiss. Usai merasakan kelezatan bakso Wonogiri buatan Tita, sang suami pun mendorong istrinya untuk berjualan.   

Kini, Tita menjajakan bakso Wonogirinya melalui online. Pelanggannya pun beragam mulai dari orang Indonesia yang menetap di Swiss hingga warga asli Swiss. 

“Alhamdulillah, ini barusan ada SMS pesanan bakso masuk lagi,” soraknya di tengah obrolan. 

Tanpa kumandang azan Maghrib

Kumandang azan Maghrib dari masjid adalah hal yang dinantikan ketika Ramadhan di Indonesia. Namun, tidak begitu halnya dengan Tita. 

Tak ada kumandang azan Maghrib bersautan dari masjid di negeri yang terkenal dengan pegunungan Alpen tersebut. Tita menggantungkan informasi waktu berbuka dari aplikasi di smartphone.  

“Aku dengar azan-nya dari aplikasi,” ujar dia sembari tertawa. 

Maklum saja, sangat sulit menemukan masjid di wilayah Frauenfeld. Masjid baru bisa ditemukan di daerah Zurich dan Wil yang harus ditempuh naik kereta. 

“Di Frauenfeld enggak ada masjid, jadi aku harus ke Zurich. Ada masjid tapi di kota lain namanya Kota Wil, dan itu harus naik kereta ke sana,” jelasnya. 

Oleh sebab itu, Tita dan keluarga menjalankan ibadah shalat tarawih dari rumah. Kondisi ini tentunya berbeda dengan Indonesia yang umat Islam biasanya menjalankan shalat tarawih berjemaah di masjid. 

Namun demikian, ia bersyukur sebab masih dapat mendengarkan siraman rohani menjelang Maghrib bersama WNI muslim lainnya.

Meskipun hanya melalui online, ia menuturkan pengajian tersebut sedikit mengobati kerinduannya dengan suasana Ramadhan di Indonesia. 

Mengikuti pengajian tersebut menjadi kegiatan ngabuburit Tita sembari mempersiapkan hidangan buka puasa. Biasanya, siraman rohani digelar secara rutin pada Senin dan Kamis. 

“Ada orang-orang Indonesia yang tinggal di Swiss, Prancis, dan lainnya. Tinggal gabung saja siapa yang mau, ada sekitar 90 orang Alhamdulillah biarpun tinggal jauh di negeri orang tapi tetap dapat siraman rohani,” ujarnya. 

https://travel.kompas.com/read/2022/04/12/140300627/puasa-di-swiss-16-jam-tanpa-kumandang-azan-maghrib

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke