Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Dua Bule Belanda "Ngontel" di Pedesaan Sentolo, Kulon Progo...

KULON PROGO, KOMPAS.com – Dua bule asal Belanda ngontel dari satu pedukuhan (dusun) ke pedukuhan lain di Kalurahan Banguncipto, Kapanewon Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Keduanya mengayuh sepeda melintasi sawah, rel kereta api, keluar masuk rumah-rumah tradisional penduduk, hingga jalan perkampungan.

Hermen dan Linda merupakan wisatawan yang sedang dalam perjalanan wisata ke sejumlah destinasi Indonesia, dengan pilihan Jawa dan Bali. Salah satunya ke Dusun Bantar Kulon, Banguncipto, di mana ada Towilfiets atau aktivitas bersepeda ala Towil, yakni ngontel dengan sepeda tua.

“Ini pertama kali saya keluar dari Eropa untuk menikmati kawasan desa ini,” kata Hermen asal Doetinchem, Selasa (31/5/2022).

Towilfiets tidak asing bagi wisatawan mancanegara, apalagi turis Belanda. Fiets, yang dalam Bahasa Belanda berarti bersepeda, jadi akrab di telinga mereka. Towilfiets adalah wisata di pedesaan yang bisa dinikmati dengan cara bersepeda.

Laki-laki gondrong asal Boyolali bernama Muntowil atau Towil menjadi penggerak wisata bersepeda di desa. Towil memimpin para turis berkeliling dari Pedukuhan Bantar Kulon, rumah Towilfiets, ke berbagai dusun lain.

Wisata bersepeda ini sejatinya tidak cuma berlelah-lelah mengayuh sepeda keliling desa semata. Towil mengajak turis mampir ke banyak tempat, utamanya rumah tradisional warga untuk melihat dari dekat kehidupan sederhana penduduk.

“Kekayaan desa yang luar biasa bagi saya. Jadi mengerti. Semakin (mereka) tahu, semakin menghargai semua itu,” kata Towil.

Semua serba spontanitas. Tamu bule mampir di tengah kesibukan pekerjaan utama mereka. Warga malah menikmati kehadiran wisatawan yang sesekali mengabadikan aktivitas harian mereka dengan mengambil foto.

Salah satu penduduk tersebut adalah rumah Mujimen (62), yang tinggal di Pedukuhan Ploso. Mujinem adalah pengumpul kacang-kacangan kedelai dan kacang koro, bahan baku tempe.

Ada pula Musinem (63) yang memiliki rumah bentuk limasan dari bambu di mana ia sedang menenun stagen. Dua bule tersebut juga mampir ke rumah pasangan suami-istri Sidal dan Sumiyati yang sehari-hari menenun kain karung dari serat pohon gebang sejenis Palma.

Hermen dan Linda juga menyempatkan mampir ke warga yang tengah merontokkan kulit gabah jadi beras. Mereka mengabadikan semua aktivitas itu dalam gawai.

“Apa yang kita lihat, apa yang bisa kita edukasi ya akan kita sampaikan. Akan mengerti dan akan dimengerti pengetahuan seperti itu. Lihat kencur, daun jeruk, kapas, serai. Itu semua potensi lokal yang ada di sini,” kata Towil.

Towil menemani Hermen dan Linda ngontel dengan sepeda tahun 1935 dan 1970.

Mereka mengayuh sepeda selama sekitar empat jam, dari pukul 08.00, sambil menikmati sudut pedesaan. Keduanya sempat beristirahat sambil ngemil panganan tradisional di gubuk petani di tengah sawah yang kebetulan kosong.

Pada suatu kesempatan, mereka mampir ke rumah Tri Suwarni (52) di Bantar Kulon hanya untuk melihat proses memasak ketupat. Mereka, kata Towil, tampak takjub mendengar penjelasan bahwa dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk memasak ketupat.

“Kita datang. Kenalan. Salaman. Kita menyampaikan riil kehidupan masyarakat ini. Kita terangkan langsung,” kata Towil.


Spot foto mengagumkan

Berwisata rasanya kurang afdol bila tanpa foto-foto. Towil mengungkapkan, pedesaan yang alami merupakan spot foto terbaik. Tidak ada yang dibuat-buat selama perjalanan itu.

“Jadi bagaimana pintar-pintarnya mengambil spot dan membiarkan alam yang berbicara. Artinya, bagaimana kita membawanya menyampaikannya dan mengemasnya sejujur-jujurnya, itu lebih bagus,” kata Towil.

"Biarlah di sini tempat tersenyum secara riil bermasyarakat yang ada," kata Towil.

Hermen dan Linda mengaku gembira dengan berkeliling pakai sepeda itu. Terutama Hermen yang mengaku menyukai suasana damai dan tenang di desa, berbeda dengan kota Yogyakarta yang sibuk dan ramai.

“Itulah yang menyenangkan kehidupan di desa seperti ini ketimbang (sibuk dan bising) di kota,” kata Hermen.

Keramahan warga juga menyentuh hati mereka. Warga membuka lebar pintu rumah sepanjang kehadiran dua wisatawan tersebut dan membiarkan aktivitas harian mereka disaksikan.

Bahkan di rumah Musinem, Linda dipinjami baju kebaya untuk berfoto. Musinem sampai mengeluarkan semua jajanan dan air untuk dicicipi para turis.

“Kami menemui orang-orang yang sangat ramah,” kata Hermen.

Pariwisata mulai pulih

Kehadiran dua wisatawan Belanda tersebut dinilai sebagai salah satu tanda bahwa pariwisata semakin membaik. Pandemi pun diyakini berangsur menuju endemik.

“Hari ini adalah surprise yang akan berkelanjutan. Ini awal surprise bagi kami dan warga,” kata Towil.

Dua tahun pandemi, pariwisata mancanegara daerah tersebut bisa dikatakan mati suri.

Padahal, dulunya Banguncipto ramai pelancong. Terlebih saat musim panas, Towil bisa melayani 30-40 turis setiap harinya. Saking banyaknya, warga setempat kerap dilibatkan untuk jadi pemandu.

Untuk wisata bersepeda semacam ini sekitar 80 persen peminatnya merupakan wisatawan asal Belanda, 15 persen dari berbagai negara di Eropa, dan sisanya dari negara lain.

Tamu WNA bisa memesan berbulan-bulan sebelumnya, bahkan setahun sebelumnya.

“Tadinya turis bisa datang pagi-sore, pagi-sore,” kata Towil.

Setelah keran pariwisata dibuka, turis asing berpeluang kembali menyerbu. Pria kelahiran Boyolali 48 tahun silam ini mengungkapkan, beberapa agen perjalanan wisata sudah mengingatkan agar bersiap menerima pengunjung luar negeri lagi.

“Lima grup lagi yang sudah booking. Mereka ini penundaan yang 2020. Hermen dan Linda termasuk yang penundaan beberapa tahun lalu,” kata Towil.

Wisata bersepeda ala Towil menonjolkan ketahanan budaya. Ia berniat terus konsisten melestarikannya untuk menyatukan liburan dan edukasi dalam satu bingkai.

https://travel.kompas.com/read/2022/06/02/150600127/ketika-dua-bule-belanda-ngontel-di-pedesaan-sentolo-kulon-progo

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke