Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengurai Makna "Over Tourism" yang Sesungguhnya

ISTILAH “over tourism” belakangan menjadi sering disebut terkait pemberitaan yang menyangkut destinasi super prioritas Candi Borobudur dan Taman Nasional Komodo.

Kedua destinasi ini dinyatakan telah mengalami over tourism sehingga perlu pembatasan jumlah wisatawan yang berkunjung.

Jika tidak dibatasi, maka bangunan candi Borobudur terancam rusak. Demikian pula komodo dibayangi kepunahan karena degradasi lingkungan yang terus-menerus terjadi.

Sesungguhnya over tourism berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Pembangunan berkelanjutan seperti dikemukakan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Dengan kata lain, pembangunan di masa sekarang semestinya tidak melupakan generasi mendatang karena tetap menyediakan ruang yang cukup untuk keberlanjutan.

Pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) dengan tujuan “langit biru” merupakan pemulihan sederhana dari keadaan yang diinginkan namun melalui fakta yang menjengkelkan karena tidak ada seorang pun memiliki petunjuk bagaimana menuju ke sana (Rumelt, 2011).

Kondisi over tourism merupakan konsep yang lebih jelas, tetapi menghadirkan ancaman bagi pengembangan wisata yang berkelanjutan.

Menurut Borg dan kawan-kawan (1996) over tourism dapat didefinisikan secara lebih kuantitatif dalam hal daya dukung yang menunjukkan batas maksimum untuk pengembangan pariwisata.

Dalam istilah yang lebih sederhana Alexis (2017) menyatakan bahwa over tourism bisa diartikan sebagai kurangnya pengelolaan (manajemen) di dalam destinasi wisata.

Over tourism juga digambarkan sebagai gejala dari era kemakmuran dan mobilitas yang tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya (Milano dkk, 2018).

Hal ini dibarengi seruan kepada pengelola destinasi untuk mengakui bahwa ada batas pasti untuk pertumbuhan dan proposal tentang bagaimana volume pengunjung dapat dioptimalkan untuk mencapai hasil yang lebih besar dalam hal manfaat ekonomi dan biaya sosial yang lebih rendah serta kerusakan lingkungan (Oklevik dkk, 2019).

Dampak bagi pemangku kepentingan

Over tourism memang identik dengan dampak buruk terhadap pariwisata berkelanjutan, namun tidak cukup objektif jika tidak melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu pebisnis, penduduk, regulator, turis dan pecinta lingkungan.

Bagi pebisnis, terjadinya over tourism direspons dengan memperbesar penawaran dalam ruang dan waktu. Ledakan pariwisata mengarah pada produksi massal (Singh, 2017) dan membutuhkan peningkatan karyawan yang dipekerjakan, ruang sewa, jam operasi, dan lain-lain.

Namun, bagi penduduk, biaya over tourism tidak berada dalam kendali dan memanifestasikan dirinya dalam bentuk kemacetan, kenaikan harga properti, penurunan daya beli, dan perubahan tatanan sosial masyarakat.

Penduduk juga harus tahan dengan perilaku turis yang nakal karena turis lebih cenderung terlibat dalam perilaku yang “meragukan” selama liburan mereka daripada di rumah (Tolkach dkk, 2017).

Penduduk yang merupakan pemangku kepentingan yang pasif beberapa di antaranya mulai mengambil sikap terhadap over tourism. Fenomena perilaku “anti-turis” terjadi di Venesia, Santorini, Barcelona, dan Amsterdam (Alexis, 2017).

Meskipun demikian, terdapat penduduk yang memperoleh manfaat dari pekerjaan yang dihasilkan oleh pariwisata atau mereka yang mendapatkan penghasilan dengan menyewakan kamar atau apartemen, menjual makanan, minuman, dan cendera mata.

Bagi otoritas pengelola biaya adalah investasi proaktif dan rasional berupa promosi atau pemasaran, dengan tujuan meningkatkan pendapatan pemerintah melalui penerimaan pariwisata dari pengunjung dan pajak yang dikumpulkan dari bisnis.

Aktivitas pemasaran dilakukan untuk memastikan lebih banyak wisatawan mengunjungi destinasi. Bagi lembaga perlindungan lingkungan, hal ini mendorong mekanisme untuk mengurangi dan membatasi volume pengunjung.

Bagi wisatawan, mereka dapat memperoleh manfaat dari beragam pilihan produk dan layanan pariwisata, karena bisnis menikmati “skala ekonomi” mengingat permintaan yang besar.

Biaya bagi wisatawan bisa dalam bentuk harga yang melambung, ketika penawaran tidak dapat memenuhi permintaan dan kemacetan perkotaan.

Terakhir, bagi para pecinta lingkungan yang merasakan kerugian gegara over tourism.

Pariwisata menyumbang sekitar delapan persen dari emisi rumah kaca global (Lenzen dkk, 2018) dengan limbah, sampah, dan knalpot mobil (Jeffreys, 1988; Rodriguez, 1987).

Para pecinta lingkungan ini melobi pihak berwenang untuk memprioritaskan perlindungan lingkungan daripada pembangunan ekonomi dan membentuk organisasi nonpemerintah dengan inisiatif untuk melindungi lingkungan (Koh dan Fakfare, 2019).

Akhirnya, mengatasi over tourism memerlukan kebijakan khusus sebagai hasil kerja sama antara pemangku kepentingan destinasi dengan pembuat kebijakan, meskipun penelitian terkini menunjukkan over tourism mungkin bukan semata masalah pariwisata saja.

Jika ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan dipahami bersama, sengkarut over tourism di candi Borobudur dan Taman Nasional Komodo, rasanya tak perlu sampai memicu konflik yang menghangat.

Pariwisata yang sejatinya membawa kedamaian dan kemakmuran untuk seluruh pemangku kepentingan pun bisa tinggal cerita saja.

*Dosen Tetap Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

https://travel.kompas.com/read/2022/08/06/082155027/mengurai-makna-over-tourism-yang-sesungguhnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke