Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kain Tenun Motif Puncatiti, Kekayaan Budaya Masyarakat Congkar di Manggarai Timur

BORONG,KOMPAS.com - Kaum milenial Kecamatan Congkar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) punya cara tersendiri untuk menggaet turis asing hingga lokal untuk belajar menenun kain tenun bermotif puncatiti.

"Ketika saya dalami tenunan yang satu ini, ada begitu banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (motif puncatiti)," kata pemuda Kecamatan Congkar, Popind Davianus kepada Kompas.com melalui WhatsApp, Senin (15/8/2022).

Ia melanjutkan, nilai-nilai tersebut mestinya menjadi warisan budaya dan menjadi pembentuk identitas kelompok masyarakat, dalam hal ini masyarakat Congkar.

Puncatiti lebih sederhana dibanding motif lain di wilayah Manggarai. Motifnya hanya garis lurus yang disebut "sumbu" dan diberi warna hijau, kuning, putih, dan oranye, serta didominasi oleh warna dasar hitam.

Garis lurus pada motif Puncatiti menggambarkan hubungan antara Sang Pencipta dengan manusia sebagai ciptaan-Nya. Dalam Masyarakat Congkar dikenal dengan istilah, "Ngawang etan, Tana Wan".

Davianus melanjutkan, puncatiti berasal dari dua kata, punca dan titi. Punca berarti benang dan titi berarti angkat. Puncatiti merupakan proses mengangkat, merajut. dan mengolah benang menjadi hasil tenun.

Tenun Puncatiti memiliki penamaan yang berbeda dari tenun lainnya di Manggarai yang lazim disebut Songket atau Songke.

Kelompok Tenun Puncatiti Congkar

Di wilayah Kecamatan Congkar, lanjut Davianus, kelompok tenun hanya aktif di beberapa desa seperti, Rana Mese, Mekar Jaya, Golo Ngawan dan Kelurahan Golo Wangkung. Sedangkan di beberapa desa lain jumlah penenunnya sedikit bahkan tidak ada sama sekali.

Diperkirakan penyebaran kelompok tenun ini dipengaruhi penyebaran masyarakat Congkar dari pusat kedaluan Pembe menuju Lengko Ajang sekitar ratusan tahun silam.

Dalam penyebaran penduduk ini, Dalu Congkar menekankan masyarakatnya untuk tetap memproduksi sarung puncatiti sebagai tanda pengenal bahwa mereka merupakan orang Congkar.

Sementara itu di beberapa desa yang kelompok tenunnya aktif, jumlah mereka makin hari makin bertambah karena pesanan terhadap tenun Puncatiti dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat.

Hal positif dari penambahan jumlah penenun ini adalah munculnya anak-anak muda yang mulai mahir menenun.

Proses membuat benang secara tradisional

Dalam prosesnya, Davianus menambahkan bahwa tenunan Congkar yang disebut puncatiti mengalami pergeseran. Pada zaman dahulu penenun biasanya menghasilkan benang dari bahan baku yang mereka dapatkan sendiri dari alam.

Penenun menanam kapas di kebun atau mencarinya di dalam hutan, kemudian tumbuhan kapas itu dibawa ke rumah untuk bijinya dipisahkan.

Kapas dijemur selama beberapa hari sebelum dilakukan proses wusu atau peremasan kapas. Kemudian, kapas yang usai diremas itu akan melewati proses pote dengan alat bantu jangka agar kapas menyatu dan memanjang.

Setelah kapas menyatu, proses selanjutnya disebut paes. Pada proses ini, kapas akan dibentuk menjadi benang menggunakan media yang disebut koles yang terbuat dari papan berukuran kecil.

Setelah kapas sudah menjadi benang, selanjutnya akan melewati proses ginak atau proses mewarnai benang menggunakan campuran tao dan batu kapur. Setelah itu, benang yang sudah diwarnai akan dijemur selama kurang lebih tiga atau empat hari.

Proses akhir pada pembuatan benang ini disebut kusa atau proses pelengketan warna menggunakan jagung yang digoreng hingga gosong dan dijadikan tepung untuk kemudian dioleskan pada benang yang sudah kering.

Setelah sudah menjadi benang, penenun akan mem-pidik atau menyusun benang secara berurutan dan rapi menggunakan alat yang disebut baluk. Setelah sudah tersusun rapi, benang tersebut akan dipindahkan ke alat dedang atau alat yang digunakan untuk menenun.

Dengan kemajuan zaman, pembuatan benang menggunakan metode tradisional jarang ditemukan bahkan sudah sirna karena prosesnya memakan waktu yang lama.

Peralatan tenun puncatiti

Peralatan tenun Puncatiti, di antaranya baluk, leka, helung, mongko hum, mongko renda, bampang, jangka, pesa, lihur, keropong, dan kelirik. Semua peralatan di atas memiliki fungsinya masing-masing.

Salah Satu Pembina Para Penenun dari Dinas Koperindag Kabupaten Manggarai Timur, Adi Ompor kepada Kompas.com, Senin, (15/8/2022) menjelaskan, Kabupaten Manggarai Timur memiliki 3 motif kain tenun, yakni kain tenun motif Lambaleda, Rembong dan Congkar.

Di Lambaleda, ada kain tenun sulam Songke dan Rembong juga sama sementara. Motif yang berbeda adalah kain tenun bermotif puncatiti.

"Motif kain tenun Manggarai Timur menggaet wisatawan minat khusus budaya untuk mengunjungi Manggarai Timur untuk belajar menenun kain tenun, memahami identitas, nilai dan makna motif di kain itu bagi kehidupan orang Manggarai Timur," ujar Davianus.

https://travel.kompas.com/read/2022/08/15/113853327/kain-tenun-motif-puncatiti-kekayaan-budaya-masyarakat-congkar-di-manggarai

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke