Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

17 Agustus Menginap di Kampung Baduy Dalam

Tetapi dalam hati saya juga bertanya apa mungkin orang Baduy memasang bendera merah putih dan membuat acara demi merayakan HUT RI, seperti di kampung-kampung lain?

Jangan-jangan pasang bendera merah putih dianggap sebagai budaya luar? Kita tahu masyarakat Baduy selama ini berjuang melindungi adat dari pengaruh budaya luar Baduy.

Itu hanya percakapan kecil dalam hati saya dan mungkin juga kawan-kawan pensiunan Harian Kompas sebelum nekat masuk ke kampung Baduy Dalam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Tujuan paling pokok sebagai pensiunan ya jalan-jalan, menikmati gurame bakar, belut bakar, ayam panggang atau sate kerbau di warung-warung pinggir jalan menuju Kanekes.

Bisa menikmati semua itu kami sudah senang bukan kepalang.

Mungkin kami dianggap orang gila yang tidak tahu bahaya, jalan-jalan menuju kampung Baduy Dalam. Usia kami tidak muda lagi, masuk kelompok usia (65-70 dan 70-75).

Kami harus menapaki jalan berbatu berbagai ukuran dan tidak tidak beraturan. Kaki menapak batu harus dengan rasa, telapak kaki setengah meraba batu itu licin atau aman diinjak.

Jalan naik-turun terjal diselingi melintas di jembatan gantung terbuat dari bambu yang bergoyang-goyang ketika dilintasi.

Orang Baduy setiap hari melintasi jalan seperti itu. Mereka menolak jalan menuju ke kampungnya diperbaiki pemerintah dengan alasan khawatir ada mobil masuk dan terjadi penebangan pohon hutan yang mereka lindungi.

Menuju Kanekes ada beberapa pintu masuk. Jalan terdekat lewat pintu Cijahe dengan berjalan kaki sekitar satu jam. Jika lewat pintu Ciboleger membutuhkan waktu lebih lama lagi, dengan kondisi jalan yang juga berbatu naik turun. Mobil pun tidak akan mungkin bisa melintasinya.

Desa Kanekes seluas 5.101,85 hektar terhampar di jajaran pegunungan Kendeng. Desa Kanekes secara administratif termasuk Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Masyarakat Baduy sudah berabad-abad tinggal di Kanekes. Mereka tersebar di tiga kampung di Desa Kanekes yaitu Kampung Cikeusik, Cibeo, Cikartawana.

Mereka hidup mengikuti adat yang sudah ditetapkan nenek moyang, dengan Sunda Wiwitan sebagai kepercayaan yang menjadi tuntunan dalam menjalani hidup.

Kampung Cikeusik sendiri kini berpenduduk 130-an kepala keluarga (KK). Mereka hidup dengan bercocok tanam padi di ladang di lereng-lereng pegunungan.

Jaro Alim mengaku banyak orang yang mencoba mempengaruhi warga Baduy untuk hidup modern dan masuk agama lain. “Ada yang mengajak kami shalat, kami tidak mau,” kata Mif, warga Baduy yang mendampingi Jaro Alim.

Alim dan warganya memilih hidup dengan berpedoman pada kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang diturunkan nenek moyang, seperti nasihat sebagai berikut:

“Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak,(Gunung tak boleh dilebur, lembah tak boleh dirusak)."

Secara alamiah lokasi tiga kampung tersebut mendukung untuk melindungi tradisi lokal Baduy dari pengaruh budaya luar. Tempatnya tersembunyi di balik deretan pegunungan yang ditumbuhi hutan lebat dengan 54 jenis tanaman hutan yang mereka kenali, termasuk petai, durian, dan keluwak yang buahnya untuk masakan rawon.

Meskipun tempatnya tersembunyi, masih saja ada warga Baduy yang tergoda mengikuti budaya dari luar misalnya mengenakan baju lain warna dari yang telah ditetapkan adat, yakni baju putih, memakai sandal saat bepergian, dan bersembuyi-sembunyi naik mobil ketika bepergian.

Akibatnya mereka yang melanggar adat dikeluarkan dari lingkungan Baduy Dalam. Para pelanggar harus tinggal di luar permukiman Baduy Dalam, dan status mereka menjadi Baduy Luar.

Teman-teman pensiunan Kompas, St Sularto (mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas) bersama putranya, Wiratmoko, sudah siap menjemput kami menuju Kanekes. Kemudian pensiunan karyawan Kompas lainnya, Jayeng Wakiman, dan Alex Sudarto sudah berkumpul di BBJ sebelum pukul 08.00.

Kami kemudian berangkat sekitar pukul 09.00 dengan satu mobil pribadi dengan perlengkapan seperlunya, termasuk obat-obatan.

Sebenarnya untuk menuju Kanekes dari Palmerah, kami bisa memilih perjalanan dengan kereta api jurusan Rangkasbitung, naik dari stasiun KA Palmerah. Dari Rangkasbitung, bisa
lanjut naik angkutan umum menuju pintu masuk Baduy di Ciboleger, atau Cijahe.

Tetapi kami memilih menempuh jalan Jakarta- Kanekes sepanjang sekitar 160 kilometer dengan mobil melalui jalan tol baru.

Adanya jalan tol Serang- Panimbang, masuk dari Walantaka Interchange pada ruas tol Jakarta-Merak di kawasan Serang Timur, perjalanan menuju Baduy menjadi lebih cepat dibanding sebelum ada jalan tol. Cukup memerlukan waktu tempuh sekitar empat jam sampai pintu masuk kampung Cikeusik di Cijahe.

Dari Cijahe masuk ke kampung Baduy Dalam, Cikeusik kami jalan kaki melintasi jalan berbatu naik-turun dan melintasi jembatan gantung.

“Perjalanan kita diberkati Tuhan. Tidak hujan dan tidak panas. Kalau hujan jalan pasti licin dan sulit dilalui,” tutur St Sularto beberapa kali menyampaikan rasa syukurnya.

Sampai di Cikeusik matahari masih terang di atas pucuk pohon hutan sekitar Kanekes. Kami sempat berbincang-bincang dengan sejumlah relawan gabungan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah terlebih dulu masuk Cikeusik untuk keperluan memberi bantuan kesehatan.

Kami juga masih menyaksikan anak-anak berlarian, tanpa alas kaki meloncat-loncat di atas batu yang tersebar di sekitar rumah khas Baduy beratap rumbia dan berdinding gedek, anyaman bambu.

Matahari menjelang tenggelam, sejumlah remaja Baduy berlarian dan melompat ke dalam sebuah bangunan berdinding gedek, tanpa jendela.

Di dalamnya gelap, sumber cahaya hanya dari satu-satunya pintu yang terbuka. Tidak ada penerangan apapun. Listrik tidak boleh ada karena menyalahi adat.

Mereka masing- masing mengangkat dan memainkan angklung. Ada angklung pendek, dan ada yang sekitar satu meter dengan bumbung besar bersuara seperti bas. Iramanya ritmik, naik turun, rendah sedang, tinggi, seperti paduan suara, terdengar merdu dan magis.

Kami dipersilakan masuk bangunan semacam sanggar kesenian itu untuk menonton, tetapi diingatkan oleh Jaro Alim, pemimpin kampung Cikeusik, untuk tidak mengambil foto dan video.

Ketika Jaro Alim memberi peringatan dengan bahasa Baduy (Sunda Lama), kami memanfaatkan untuk bertanya balik apakah kegiatan ini persiapan peringatan 17 Agustus? Dia menjawab, sama sekali tidak ada kaitannya dengan 17 Agustus.

“Ini main angklung untuk menandai setelah tanam padi bersama-sama selesai,” tutur Alim yang rumahnya kami pergunakan untuk menginap. Kebetulan hari itu hampir sepanjang hari masyarakat Baduy pergi ke ladang untuk tanam padi.

Sebelum matahari benar-benar tenggelam yang membuat perkampungan Baduy Dalam gelap gulita, kami mandi di sungai berair jernih, mengalir deras. Airnya dingin mengingatkan cerita tentang sungai Aare di Bern, Swiss.

Sungai yang melintasi Desa Kanekes itu bernama Ciujung yang mempunyai anak sungai Cisimeut, Cibarani, Cibeneung, dan Ciparahiang.

Supaya tubuh tidak hanyut terbawa arus deras, saya menyandarkan tubuh saya di batu besar menghadap arus air. Puas mandi di sungai itu walaupun tanpa sabun. Adat Baduy melarang menggunakan sabun.

Waktu sudah petang, kami naik rumah panggung milik keluarga Jaro Alim. Jaro adalah kepala kampung adat yang juga bertugas antara lain menjadi penghubung antara masyarakat adat dan kepala desa wakil pemerintah.

Kami duduk bersila membentuk lingkaran. Jaro Alim didampingi keluarganya, Mif yang sudah menjadi Baduy Luar.

Diterangi lampu ublik dengan bahan bakar minyak sayur, kami menyantap makan malam yang disediakan keluarga jaro. Masing-masing diberi selembar daun pisang dan daun lain semacam ganyong untuk alas nasi.

Nasi ditaruh di atas daun masing-masing, lalu sepiring ikan semacam selar yang sudah diasinkan disorongkan ke tengah lingkaran.

Ikan-ikan asin goreng sepanjang jari tangan itu diambil satu-satu untuk menemani nasi. “Enak juga makan seperti ini,” kata Alex Sudarto.

Selesai makan malam, kami tidak segera beranjak menyingkir karena kami berharap ada ngobrol-ngobrol dengan Jaro Alim.

Untuk mengisi waktu saya minta Jaro Alim dan keponakannya menjadi nara sumber. St Sularto yang banyak membaca buku tentang Baduy, termasuk karya rohaniawan Belanda N.J.C Geise, tahun 1952 berjudul “Badujs en Muslims in Lebak Parahiang, Zuid Banten”, membuka percakapan dan menceritakan secara singkat isi buku tersebut.

Sularto memberi sedikit perbandingan dengan suku-suku terasing di Indonesia. “Semuanya adalah sama, sebagai warga negara Indonesia, dengan hak-hak yang sama,” kata Sularto membesarkan hati Jaro Alim.

Jaro Alim dan keponakannya, Mif yang sudah menjadi Baduy luar menyimak dan kemudian mengomentari agar buku-buku tentang Baduy disimpan baik-baik, tidak disebarluaskan. Hal ini sebagai kebijakan adat Baduy yang merahasiakan banyak hal tentang Baduy.

Mereka khawatir informasi penting tentang Baduy itu digunakan orang lain untuk perbuatan yang tidak benar, untuk pemalsuan dan penipuan.

“Sekarang banyak orang yang mengaku-ngaku Baduy untuk perbuatan tidak baik,” kata Jaro Alim.

Ada yang menjual madu yang bukan asli Baduy, tapi menggunakan nama Baduy. Ada yang menjual obat kuat, katanya dari Puun Baduy. “Itu bohong, perbuatan pembohong. Di sini tidak ada itu,” kata Alim.

Kami kemudian tidur di tempat kami makan, serumah dengan Jaro Alim dan keluarganya. Tidur berjajar kaki di sebelah utara dan kepala di selatan.

Kami ingin segera tidur dan cepat pagi untuk melihat suasana pagi di hari Rabu 17 Agustus. Pagi buta suara anjing dan ayam bersahut-sahutan membuat kami terbangun.

Sekelompok remaja Baduy melintas cepat menuju rumah sanggar terbuat dari bambu. Mereka kembali memainkan angklung, tetapi kegiatan ini tidak terkait HUT RI.

“Apakah di sini tidak ada pemasangan bendera merah putih dan kegiatan perayaan HUT RI,” tanya saya pada Jaro Alim.

“Tidak ada bendera sejak dulu. Tidak ada acara 17 Agustus. Kami tidak diberi tahu dan tidak diajak. Kalau diajak, kami mau ikut,” tutur Alim.

Mampir ke Puun

Sebelum pulang kami sempat mampir ke rumah Puun Yasih. Puun adalah pemimpin pikukuh (titipan nenek-moyang) berupa adat, aturan nenek moyang dan agama Sunda Wiwitan.

Tidak sembarang orang yang masuk Baduy Dalam bisa bertemu puun, kecuali orang yang punya maksud tertentu, misalnya minta didoakan mendapat jabatan, dapat rejeki banyak, dan lain-lain.

Karena itu kami harus merumuskan permintaan. Kami sempat katawa cekikikan di antara kami. “Hayo mau minta apa, minta jodoh, minta kuat?” kata Jayeng. Akhirnya kami masing-masing minta sehat, panjang umur dan murah rejeki.

Di depan Puun Yasih yang masih muda, berambut gondrong diikat dengan kain putih, berbaju putih lusuh, kami satu per satu menyampaikan maksud menghadap puun.

Puun berdoa, mulutnya komat-kamit sambil memegang potongan kemenyan. Puun rupanya tidak pernah sepi dari tamu, terutama menjelang pemilihan kepala daerah.

Setelah pamit kepada puun dan jaro, kami segera meninggalkan Cikeusik karena takut hujan turun. Kami kembali melintasi jalan berbatu naik-turun.

Sampai di luar Cikeusik baru kami melihat bendera merah putih dan suara speaker teriak-teriak di arena perlombaan HUT RI.

Kami masuk Cikeusik dipandu oleh Yusef Cahyadi, ST sekretaris Yayasan Relawan Kampung Indonesia (YRKI) yang berkantor di Kota Serang. Yusef mengajak kami melalui jalan pintas sehingga cepat sampai ke pintu masuk Kampung Cikeusik di Cijahe.

YRKI yang diketuai oleh M Arif Kirdiat cukup dikenal di Kanekes dan sekitarnya, karena yayasan ini bersama donatur membangun beberapa jembatan gantung terbuat dari bambu di kawasan ini.

Banyak orang yang akan masuk Baduy berkonsultasi dengannya, termasuk tim relawan gabungan BUMN yang masuk Baduy bersama Menteri BUMN Erick Thohir pertengahan Agustus lalu.

“Kami hanya membantu mengarahkan, supaya penyaluran bantuan tepat sasaran,”kata Arif.

Kami lega, perjalanan kami lancar dan menyenangkan.

https://travel.kompas.com/read/2022/08/20/141313727/17-agustus-menginap-di-kampung-baduy-dalam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke