PALEMBANG, KOMPAS.com - Tak hanya Jembatan Ampera yang menjadi ikon Kota Palembang, warung terapung juga menjadi daya tarik wisata lainnya di daerah tersebut.
Perahu alias warung terapung tersebut berlabuh di tepi Sungai Musi, tepatnya di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB), mulai sekitar pukul 15.00 hingga malam hari.
Menu utama yang disajikan adalah makanan khas Palembang, yakni pempek. Para pemilik perahu berasal dari Kampung Tanggo Rajo Cindo yang terletak di seberang pelataran BKB.
Selain menjajakan pempek buatan mereka di BKB, sebagian lainnya memasok pempek ke berbagai tempat.
Dalam perjalanan Merapah Trans-Sumatra 2022, Kompas.com sempat menjajal sensasi makan di atas warung terapung ini.
Karena merupakan perahu, maka untuk menaikinya kita harus menyusuri pijakan kayu yang membantu menyeberangi air.
Dianjurkan fokus saat melangkah untuk menghindari terpeleset atau salah pijak. Apalagi, pijakan tersebut kerap bergoyang karena mengikuti kapal yang terdorong ombak.
Riuh para pengunjung warung langsung terasa begitu kami menginjakkan kaki di atas perahu. Sebagian bersahut-sahutan memesan makanan, sementara lainnya asyik mengobrol bareng keluarga ataupun teman.
Kami datang pada Minggu sore sekitar pukul 18.00 sehingga mendekati waktu makan malam. Maka tak heran jika suasana warung terapung begitu ramai.
Di antara beberapa warung yang ada, kami singgah di warung terapung milik Cek Merry. Kebetulan, pada hari yang sama, kami mampir ke kediamannya untuk melihat proses pembuatan pempek.
Ia mengatakan, pengunjung warungnya memang cukup banyak pada akhir pekan. Meskipun, faktor cuaca juga menentukan.
"Tergantung cuaca juga, sih," kata Cek Merry kepada Kompas.com, Sabtu (20/11/2022).
Masuk ke warung terapung, pengunjung bakal langsung disuguhkan sebuah meja panjang tempat makanan disajikan dan para pembeli duduk mengitarinya untuk menyantap hidangan.
Di atas meja sudah tersaji beragam jenis pempek seharga Rp 2.000, seperti pempek tahu, keriting, lenjer, kulit, dan model.
Selain yang tersaji di atas meja, pengunjung juga bisa memesan pempek lainnya, misalnya pempek berukuran besar seharga Rp 12.000 seperti kapal selam atau menu lain, seperti nasi goreng.
Saat itu, saya memesan pempek tahu dan keriting, serta kapal selam.
Di antara ketiganya, kapal selam adalah favorit saya karena setelah digoreng punya tekstur pinggiran yang garing dan gurih, tapi empuk di bagian dalam dan tingkat kematangannya pas.
Cuko yang diguyur ke atas pempek membuat rasanya kian sempurna. Rasa cukonya asam dan pedas, tapi tidak terlalu kuat sehingga masih cocok untuk orang-orang yang kurang suka pedas.
Sembari menyantap pempek, sesekali perahu bergoyang karena ombak sungai. Membuat kita merasakan sensasi seolah benar-benar makan di atas perahu yang sedang berlayar.
Namun, goyangan tersebut mungkin akan kurang nyaman bagi sebagian orang, terutama jika baru pertama kali datang. Salah seorang teman saya, misalnya, memilih menunggu di luar karena merasa mual dengan goyangan perahu.
Salah satu hal yang berbeda dari penyajian pempek di sini, terutama jika dibandingkan dengan pempek yang banyak ditemui di Pulau Jawa, adalah tidak adanya mi kuning dan potongan mentimun. Dua bahan pelengkap tersebut rasanya hampir selalu kita temukan.
Saat menanyakan soal mi kuning, seorang penyaji yang melayani kami justru tidak tahu.
"Oh, enggak ada pakai mi kuning," katanya, lalu diamini oleh seorang pengunjung yang duduk di sebelah saya.
Fathan, seorang wisatawan asal Bogor, Jawa Barat, misalnya, memesan lima buah pempek Rp 2.000.
Menurutnya, harga pempek di sana murah namun enak. Terutama jika dibandingkan dengan pempek yang ditemukannya di Bogor atau daerah lain di Jawa.
Apalagi, tak hanya makan pempek ia juga mencari pengalaman unik makan di warung terapung.
"Lima hanya Rp 10.000, dengan makan di atas perahu dan suasana seperti ini, worth it banget," ucapnya.
https://travel.kompas.com/read/2022/11/22/063414427/merasakan-sensasi-santap-pempek-di-warung-apung-palembang