Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengalaman Mampir ke Museum Benteng Heritage, Asyik Belajar Kaligrafi

KOMPAS.com - Jika tertarik menyelami tentang keberadaan peranakan Tionghoa yang cukup mendominasi di Kota Tangerang, penting untuk melangkah mundur melihat asal mula hadirnya orang Tionghoa di Tangerang.

Datang langsung Ke daerah asal mula peranakan Tionghoa ini bisa jadi pilihan tepat, selain hanya mempelajarinya dari buku sejarah.

Bermodal riset kecil-kecilan yang saya lakukan, diketahui bahwa bukti serta koleksi terkait sejarah peranakan Tionghoa di Tangerang dapat di temukan di sebuah museum bernama Museum Benteng Heritage.

Perjalanan mencari lokasi Museum Benteng Heritage saya lakukan dengan arahan peta digital dan petunjuk dari beberapa penduduk lokal.

Usai melewati jajaran kios pedagang ikan di Pasar Lama yang tengah mengemasi dagangan, sore itu langkah kaki saya berhenti tepat di depan sebuah rumah kayu yang nampak sudah tua.

Menurut arahan dari warga sekitar kawasan Pasar Lama Tangerang, bangunan yang berada di depan saya saat itu ialah Museum Benteng Heritage.

Akan tetapi, sempat ada semacam keraguan untuk melangkah maju saat saya baru saja menapaki pekarangan bangunan tersebut.

Selain nampak sepi, tidak ada papan nama atau plang yang diletakkan di depan museum sebagai petunjuk. Sehingga sekilas bangunan tersebut nampak seperti rumah warga pada umumnya.

Ditambah lagi dengan terlihatnya tumpukan sampah yang mulai menggunung dan menimbulkan aroma kurang sedap bagi indera penciuman.

Namun akhirnya saya memberanikan diri untuk masuk dan menyapa.

Ternyata langkah saya tepat. Rumah yang dimasuki ini adalah Museum Benteng Heritage. Sebuah museum yang menyimpan banyak bukti sejarah hadirnya peranakan Tionghoa di Kota Tangerang.

Usai melangkah masuk dan membayar harga tiket masuk sebesar Rp 30.000, saya didampingi oleh seorang pemandu museum bernama Martin.

Sembari menjelaskan beberapa aturan kunjungan, Martin juga mulai memperkenalkan beberapa jenis lukisan bernuansa Tionghoa yang dipajang di bagian dinding bangunan.

Seperti halnya rumah tua yang terbuat dari kayu, hawa sejuk dan nyaman saya rasakan saat masuk ke bagian dalam ruangan museum. Kontras sekali dengan panasnya daerah Tangerang hari itu.

Martin menceritakan bahwa bangunan yang saat ini dijadikan sebagai lokasi Museum Benteng Heritage diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17.

"Dulu, bangunan ini (berfungsi) sebagai rumah komunitas atau organisasi. Ini kita ketahui dari relief yang menghiasi bagian dalam bangunan," kata Martin kepada Kompas.com pada Rabu (11/01/2022).

Setelah ditinggalkan cukup lama, pada abad ke-19 bangunan tersebut kemudian dimiliki secara pribadi oleh keluarga bermarga Lao. Mereka hidup secara turun temurun di sini sampai 2009.

"(Tahun) 2009 bangunan ini dijual dan dibeli oleh Pak Udaya Halim," katanya.

Setelah membeli bangunan tua ini, Udaya Halim kemudian melakukan restorasi dan meresmikan bangunan tersebut sebagai sebuah museum pada 11 November 2011.

Meski berganti kepemilikan, namun tidak ada perbedaan besar yang dilakukan terhadap bangunan tersebut.

"Tidak ada perbedaan besar antara (bangunan) asli dengan yang sudah direstorasi. Hanya memberi tambahan ornamen dan mengisi ruangan museum," kata Martin.

Memasuki lantai satu museum, saya diajak Martin ke depan sebuah pajangan kuno. Bentuknya serupa kertas pajangan biasa berisi tulisan China yang sudah difigura dengan kaca.

"Ini prasasti Tangga Jamban, ditemukan pada 173 Masehi," ucapnya sembari menunjuk kertas pajangan tersebut.

Berdasarkan penjelasan Martin, prasasti Tangga Jamban ini berisi 81 nama atau marga kaum Tionghoa yang ikut berpartisipasi membangun Kota Tangerang pada zaman dahulu.

"Nama prasasti ini diambail dari lokasi penemuannya, yakni di pinggir kali, tepatnya di tangga jamban," terang Martin.

Orang Tionghoa, kata Martin, melakukan pendaratan di Tangerang, Banten, pada 1407. Tepatnya di daerah Teluk Naga.

Orang Tionghoa yang pertama kali datang ke Tangerang bernama Chen Ci Lung (Ha Lung), yaitu seorang pemimpin pasukan yang diutus oleh seorang pelaut asal Tionghoa bernama Laksamana Cheng Ho.

Pendaratan pasukan Ha Lung di Teluk Naga, kata Martin, pada saat itu bertujuan untuk melakukan perdagangan. Sehingga mereka mulai bersosialisasi dengan pribumi dan terjadilah perkawinan campuran.

"Orang Tionghoa datang ke Tangerang dulu bukan untuk menjajah, melainkan untuk berdagang."

"Sehingga kedatangannya disambut baik oleh pribumi, tapi dianggap musuh oleh orang Belanda," kata Martin.

Hasil perkawinan antara orang Tionghoa dengan pribumi pada saat itu disebut sebagai "peranakan Tionghoa".

Selain prasasti, di lantai satu museum juga menyimpan koleksi berupa pipa rokok, timbangan opium, sempoa, dan berbagai alat-alat yang digunakan untuk berdagang oleh orang Tionghoa.

Sepatu perempuan bangsawan

Berpindah ke lantai dua, terdapat peta sejarah peranakan Tionghoa yang dipajang cukup besar di bagian dinding tepat di ujung anak tangga.

Tidak jauh dari peta sejarah, terdapat pajangan berupa sepatu yang digunakan oleh kaum bangsawan Tionghoa pada abad Dinasti Song (960–1279).

Ukuran sepatu yang dipajang terlihat sangat kecil dan diperkirakan hanya muat dikenakan oleh anak bayi pada saat ini. Panjang sepatu tersebut sekitar 7,2 sentimeter

Ironinya, sepatu tersebut pada zaman itu justru dikenakan oleh perempuan dari kalangan bangsawan yang belum menikah.

"Pada zaman dahulu, standar kecantikan seorang wanita dilihat dari ukuran kakinya. Semakin kecil ukuran kaki seorang wanita, maka dianggap semakin cantik," terang Martin.

Menurut penjelasan Martin, bounded feet merupakan tradisi membalut kaki dengan kain sehingga kaki akan terlihat kecil.

Tradisi ini dilakukan sejak anak perempuan berusia sekitar tiga sampai enam tahun.

Pada rentang umur tersebut empat jari kaki anak perempuan akan dipatahkan, kemudian kaki akan dibalut dengan kain layaknya membungkus ikan asin.

"Ikatan kaki ini semakin hari semakin kuat, dan hanya akan dilepaskan saat sang perempuan akan menikah," kata Martin.

Adapun tujuan tradisi bounded feet dilakukan yakni agar sang perempuan tidak lari dari perjodohan, supaya terlihat cantik, dan supaya sang perempuan tidak bisa belajar kungfu.

Secara biologis, bentuk kaki yang sangat kecil dan hanya terdiri dari satu jari untuk berpijak, tentunya akan berpengaruh terhadap cara berjalan seseorang.

Fungsi kaki untuk menahan beban tubuh saat berjalan bagi seorang perempuan pada saat itu memang terbatas dan sangat lemah.

"Mereka bisa berjalan (menggunakan kaki), tapi hanya bisa tahan beberapa langkah. Dulu kalangan menengah ke atas kemana-mana ditandu," kata Martin.

Ia mengatakan, tradisi bounded feet juga pernah diterapkan oleh peranakan Tionghoa di Tangerang. Akan tetapi tradisi tersebut kemudian dihilangkan pada 1911.

Tepat di depan pajangan sepatu, terdapat empat tiang kokoh di bagian tengah ruangan yang dihiasi relief.

Menurut keterangan Martin, relief yang menghiasi bangunan ini dulunya masih berwarna hitam karena tertutup debu. Barulah setelah dilakukan restorasi dan pembersihan, warna asli relief muncul kembali.

"Relief ini masih asli sejak dibangun pada 1407. Dulu, relief ini merupakan sebuah batu besar yang diangkat ke atas, dipahat, lalu ditempel dengan keramik-keramik pecah," jelas Martin.

Tidak jauh dari tiang-tiang relief, terdapat sebuah ranjang pengantin lengkap dengan bantal yang digunakan untuk tidur.

Ranjang tersebut terbuat dari kayu, dan bantal yang digunakan terbuat dari anyaman rotan yang dibentuk seperti balok. 

Jangan bayangkan ranjang empuk dengan tumpukan kapuk ataupun busa layaknya di rumah masyarakat saat ini, karena ranjang yang digunakan hanya berupa alas kayu semata.

Di atas ranjang pengantin terdapat pernak-pernik pakaian yang dulu digunakan untuk acara pernikahan.

"Pernikahan peranakan Tionghoa itu bersentuhan dengan budaya Betawi. Ini dapat dilihat dari warna pakaian pengantin yang kontras," kata Martin.

Sebagai musik iringan saat pernikahan, peranakan Tionghoa dulu menggunakan musik gambang kromong. 

Usai berkeliling melihat isi museum, saya kembali menuruni anak tangga menuju lantai satu.

Baru setengah perjalanan menapaki anak tangga, dari lantai dua  saya dapat melihat beberapa orang paruh baya sedang tekun melukis menggunakan tinta cina.

Melihat keberadaan saya, seorang bapak yang ada di sana memanggil saya untuk turut ikut serta melihat mereka melukis.

"Ini namanya kaligrafi tionghoa," kata salah satu peserta melukis bernama Udaya Titih kepada Kompas.com pada Rabu (11/01/2023).

Di sana saya dijelaskan perihal metode lukis kaligrafi, jenis tulisan yang dilukis dengan tinta cina, serta jenis-jenis kuas yang digunakan.

Terdapat tiga orang peserta melukis kaligrafi di Museum Benteng Heritage hari itu, ditambah satu orang guru yang tidak ingin disebut namanya.

Tidak hanya diajarkan secara teori, beruntungnya saya juga diberi kesempatan untuk mencoba mempraktikkan teknik-teknik dasar dalam membuat kaligrafi Tionghoa.

"Belajar ini (kaligrafi tionghoa), bagi saya memberi tabungan rasa kepada diri sendiri," ujar Titih.

Cukup lama waktu yang saya habiskan di dalam Museum Benteng Heritage, yakni sekitar dua jam lebih.  

Saat bersiap akan pulang, saya juga diberi hadiah oleh guru kaligrafi di sana berupa tulisan nama saya yang dilukis menggunakan kuas dan tinta Cina di atas sebuah kertas berukuran cukup besar.

Ibarat pepatah, "sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui", kunjungan saya ke Museum Benteng Heritage hari itu memberikan saya pengalaman hebat yang tidak pernah saya kira.

Tidak hanya bisa belajar seputar sejarah peranakan Tionghoa dan kaligrafi, saya juga mendapat oleh-oleh yang akan saya figura dan saya pajang di dinding rumah nantinya.

https://travel.kompas.com/read/2023/01/16/080700827/pengalaman-mampir-ke-museum-benteng-heritage-asyik-belajar-kaligrafi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke