Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengintip Koleksi di Museum Benteng Heritage, Ada Sepatu untuk Bounded Feet

KOMPAS.com - Museum Benteng Heritage merupakan bangunan bersejarah yang menyimpan koleksi peradaban Tionghoa di Tangerang.

Lokasinya ada di Jalan Cilame Nomor 18-20, Pasar Lama, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten.

Museum ini terbuka untuk umum dan dapat dikunjungi setiap Selasa hingga Minggu mulai pukul 10.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB.

  • Sejarah Museum Benteng Heritage, Museum Tionghoa Pertama di Indonesia
  • Cara ke Museum Benteng Heritage Naik KRL, Turun di Stasiun Tangerang

Ada beragam koleksi sejarah peradaban Tionghoa di Museum Benteng Heritage yang menarik untuk dipelajari.

Sayangnya, pengunjung tidak diperbolehkan mengambil gambar ataupun merekam video saat berada di dalam museum.

Dari banyaknya koleksi sejarah di Museum Benteng Heritage, tim Kompas.com merangkum lima koleksi paling menarik yang ditemui saat mampir ke lokasi pada Rabu (11/01/2023).

Koleksi Kecap Benteng dapat ditemui saat wisatawan memasuki lantai satu Museum Benteng Heritage.

Deretan koleksi Kecap Benteng ini diletakan di dalam patung botol kecap berukuran cukup besar, yakni tingginya sekitar 130 sentimeter.

Pemandu wisata Museum Benteng Heritage bernama Martin mengatakan bahwa Kecap Benteng merupakan kecap legendaris di Tangerang yang sampai saat ini masih beroperasi.

Dikutip dari laman Kompas.com (17/06/2019) pabrik Kecap Benteng didirkan oleh seorang keturunan Tionghoa bernama Tan Hay Soey pada 1882. 

Keberadaan Kecap Benteng dari dulu sampai sekarang cukup populer karena rasanya yang legit dan terasa lebih kental. Bahkan Kecap Benteng sudah menjadi primadona bagi koki restoran.

Berdasarkan penjelasan Martin, Prasasti Tangga Jamban yang dipajang di Museum Benteng Heritage berisi informasi seputar 81 nama atau marga kaum Tionghoa yang ikut berpartisipsi membangun Kota Tangerang pada zaman dahulu.

Penyematan nama prasasti tersebut bukan tanpa alasan.

Martim mengatakan, nama prasasti ini diambil dari lokasi penemuannya, yakni di pinggir kali, tepatnya di tangga jamban.

"Prasasti ini masih asli dari (tahun) 1873 Masehi. Saat ini (Prasasti Tangga Jamban) sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia," kata Martin kepada Kompas.com pada Rabu (11/01/2023).


3. Perlengkapan pernikahan peranakan Tionghoa

Museum Benteng Heritage menyimpan koleksi perlengkapan pernikahan peranakan Tionghoa yang cukup lengkap.

Mulai dari pakaian adat yang dikenakan oleh pengantin saat pernikahan, pernak pernik adat yang dikenakan oleh pengantin, serta alat musik yang digunakan untuk mengisi acara pernikahan.

Warna pakaian pengantin yang dikenakan oleh peranakan Tionghoa pada zaman dahulu sudah mengalami akulturasi dengan budaya lokal, yakni Sunda dan Betawi.

Ini dapat dilihat dari kontrasnya warna pakaian bagian atas (warna merah) dan pakaian bagian bawah (warna hijau).

Tidak hanya itu. Bentuk hiasan kepala yang dikenakan oleh pengantin peranakan Tionghoa nampak hampir mirip dengan hiasan kepala adat suku Betawi.

Di sini juga dipajang bentuk ranjang yang digunakan pengantin peranakan Tionghoa usai menikah. 

Semua rangka ranjang terbuat dari kayu kokoh, lengkap dengan bantal berbentuk balok yang dibuat dari anyaman rotan.

Jika membahas seputar pernikahan, tentu tidak lepas dari bahasan seserahan.

Di Museum Benteng Heritage terdapat sangjit, yaitu seserahan yang dibawa saat acara pernikahan peranakan Tionghoa.

Bagi adat Tionghoa, sangjit dibawa oleh pihak pengantin laki-laki dan nantinya diberikan kepada pihak pengantin perempuan.

"Isinya (sangjit) berupa makanan seperti kue-kue. Tergantung mahar, tapi sekarang sudah diganti dengan parsel," kata Martin.

Tepat di bagian tengah lantai dua museum, terdapat empat pilar kokoh yang dihiasi relief pada bagian atasnya.

Menurut penjelasan Martin, relief yang menghiasi bangunan ini dulunya masih berwarna hitam karena tertutup debu. 

Barulah setelah dilakukan restorasi dan pembersihan, warna asli relief muncul kembali.

Relief yang ada di Museum Benteng Heritage masih asli, dan diperkirakan sudah ada sejak bangunan museum dibangun pada 1407. 

"Relief ini merupakan sebuah batu besar yang diangkat ke atas, dipahat, lalu ditempel dengan keramik-keramik pecah," jelas Martin.

Museum Benteng Heritage juga memajang koleksi sepatu yang dulu biasa dikenakan oleh perempuan kalangan bangsawan.

Jangan bayangkan sebuah sepatu mewah dengan hiasa pernak pernik yang berkilauan seperti saat ini.

Ironinya, sepatu yang dikenakan oleh perempuan bangsawan pada saat itu berukuran sangat kecil.

Panjangnya sekitar 7,2 sentimeter, ukuran tersebut nampak pas dikenakan oleh kaki anak bayi pada zaman sekarang.

"Pada zaman dahulu, standar kecantikan seorang wanita dilihat dari ukuran kakinya, semakin kecil ukuran kaki seorang wanita, maka dianggap semakin cantik," kata Martin.

Guna mendapatkan bentuk kaki berukuran kecil, maka peranakan Tionghoa pada saat itu melakukan tradisi bounded feet, yaitu membalut kaki dengan kain.

Martin menceritakan, tradisi bounded feet dilakukan pada anak perempuan berusia tiga sampai enam tahun. 

Pada rentang umur tersebut empat jari kaki anak perempuan akan dipatahkan, kemudian kaki akan dibalut dengan kain layaknya membungkus ikan asin.

Ikatan kain pada kaki akan semakin kuat setiap harinya, sehingga kaki perempuan akan berbentuk tumpul dengan kondisi bekas empat jari yang dipatahkan menekuk ke bagian dalam telapak kaki. 

Kata Martin, ikatan kain pada kaki perempuan akan dilepaskan saat perempuan bangsawan tersebut akan menikah.

Tradisi bounded feet ini pernah diterapkan oleh peranakan Tionghoa di Tangerang. Akan tetapi tradisi tersebut kemudian dihilangkan pada 1911.

https://travel.kompas.com/read/2023/01/17/090700327/mengintip-koleksi-di-museum-benteng-heritage-ada-sepatu-untuk-bounded-feet

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke