Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengalaman Jelajah Malam di Museum Taman Prasasti, Lihat Makam Kuno

KOMPAS.com - Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, dulunya area pemakaman elite khusus orang asing yang tinggal di Batavia. Meski jenazah di dalam makam tersebut telah dipindahkan, namun nisan-nisannya masih ada.

Jangankan malam hari, mungkin saat berkunjung pada siang hari pun, kamu bisa bergidik melihat nisan, kereta jenazah, dan aneka patung di tempat ini.

  • Panduan ke Museum Taman Prasasti, Jam Buka, Rute, sampai Tips
  • Cerita di Balik 20 Nisan di Museum Taman Prasasti Jakarta

Berbagai ekspektasi seram terkait Museum Taman Prasasti dipatahkan oleh Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta, Esti Utami, melalui kegiatan "Jelajah Malam Museum".

Esti menilai, terlepas dari kesan angker dan kuno, di museum-lah seseorang bisa mempelajari sejarah sekaligus berada di tempat yang bersejarah.

"Selain itu, nyatanya tokoh-tokoh yang pernah bersemayam di museum inilah yang juga turut mewarnai sejarah terbentuknya Jakarta saat ini," kata Esti di Museum Taman Prasasti, Jakarta Pusat, Selasa (14/2/2023).

Lantas, bagaimana kondisi bekas kompleks pemakaman seluas 1,3 hektar itu pada malam hari?

Penasaran dengan suasana malam di kompleks bekas pemakaman ini, Kompas.com turut serta dalam Jelajah Malam Museum, untuk melihat peristirahatan terakhir para tokoh VOC dan Hindia Belanda, di Museum Taman Prasasti, Selasa (15/2/2023) malam.

Ada sekitar 60-an peserta yang akan mengikuti tur hari itu. Semua telah bersiap dan menunggu arahan sebelum acara dimulai.

Mulanya peserta diminta registrasi ulang sekaligus mengambil kaus dan makanan ringan yang telah disediakan.

  • Ada Apa di Museum Taman Prasasti Jakarta?
  • 4 Fakta Museum Taman Prasasti Jakarta, Bekas Pemakaman Orang Asing

Lantaran gerimis masih turun, dan tidak memungkinkan untuk langsung berkeliling, kami pun berkumpul di sebuah ruangan sebelah bangunan utama.

Belakangan, saya baru tahu ruangan itu juga termasuk area pameran. Isinya sejumlah maket budaya pemakaman di Tanah Air.

Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan dengan diskusi singkat seputar sejarah Museum Taman Prasasti dan koleksi-koleksi unggulannya.

Setelah itu, barulah peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk memudahkan penyebaran informasi dari pemandu.

Pukul 21.00 WIB, semua lampu dimatikan. Para peserta menjelajahi museum hanya dibekali alat pendengar untuk mendengar penjelasan pemandu soal nisan-nisan yang dikunjungi, serta sebuah senter yang digunakan oleh pemandu.

Kendati begitu, beberapa peserta juga ikut menyalakan lampu ponselnya.

Tak semua nisan kami kunjungi, hanya beberapa saja, mengingat gerimis masih turun dan waktu yang terbatas.

Titik pertama yang kami singgahi adalah patung Crying Lady. Patung ini menyimbolkan kisah pilu seorang istri yang kehilangan suaminya akibat wabah malaria.

Lalu perjalanan berlanjut ke nisan HF Roll, pendiri STOVIA atau sekolah kedokteran zaman Belanda yang menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Tak jauh dari nisan tersebut, ada juga nisan Olivia Marianne Raffles, istri dari Thomas Stamford Raffles yang menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda periode 1811-1816.

Rupanya, monumen makam Olivia Raffles juga ada di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, loh!

Selain itu, kami juga melihat nisan Marius Hulswit, perancang sekaligus yang pembangun Gereja Katedral pada tahun 1899-1901, serta nisan aktivis Soe Hok Gie.

Iin, pemandu kami malam itu, bercerita bahwa, jika diperhatikan, sejumlah nisan dilengkapi dengan simbol dari profesi mereka.

"Kayak Nyai Riboet itu kan dulunya artis opera, ada patung harpa di atas nisannya. Terus pastor, itu ada patung pastornya dan ada salibnya," ujar Iin. 

Perjalanan dilanjutkan dari satu nisan ke nisan lain. Suasana cukup kondusif, namun karena kondisi jalan setapak yang licin, ditambah lubang-lubang kecil dan tekstur tanah kurang rata, sejumlah peserta terpeleset.

Selanjutnya kami kembali menerobos satu per satu genangan air guna melihat nisan-nisan yang lokasinya ada di tengah kompleks museum.

Bentuknya aneka rupa, ada yang berbentuk lempengan, ada pula yang berbentuk rumah. Terdapat pula sejumlah monumen, salah satunya Monumen Pecah Kulit dengan tengkorak yang tertancap di atasnya.

Monumen Pecah Kulit mengisahkan nasib Pieter Erberveld, keturunan Indonesia berdarah campuran Jerman dan Thailand yang dituduh melakukan pemberontakan terhadap VOC.

Erberveld dihukum mati tahun 1722 dengan cara ditarik empat kuda ke empat arah yang berbeda.

Perjalanan singkat kami malam itu pun selesai. Meski tidak mengitari seluruh kompleks, namun menurut Kompas.com, Museum Taman Prasasti berhasil memperlihatkan sekilas peristiwa masa lalu lewat masing-masing nisan.

Menghabiskan sekitar 40 menit di tempat ini, bukan nuansa seram yang Kompas.com rasakan, melainkan kekaguman menilik megahnya kompleks pemakaman bagi kalangan eksklusif zaman dulu.

Normalnya, mungkin butuh waktu sekitar 1-1,5 jam untuk benar-benar berkeliling dan melihat satu per satu koleksi museum.

https://travel.kompas.com/read/2023/02/15/150501027/pengalaman-jelajah-malam-di-museum-taman-prasasti-lihat-makam-kuno

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke