Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Seharian Berkunjung ke 4 Masjid Tionghoa di Jakarta

KOMPAS.com - Tidak banyak yang tahu, ajaran-ajaran dan peninggalan agama Islam di Indonesia ternyata banyak juga yang disebarkan oleh warga Tionghoa.

Pengaruh Islam dari Tionghoa atau China, nyatanya telah ada sejak beratus tahun yang lalu.

"Orang Tionghoa banyak juga perannya terhadap penyebaran Islam di Indonesia," ujar pemandu dari Wisata kreatif Jakarta, Ira Lathief, saat acara Festival Kebhinekaan ke-6 di Jakarta Barat, Minggu (26/2/2023).

  • 22 Tempat Wisata di Samarinda, Ada Masjid Terbesar Kedua Asia Tenggara
  • Masjid Sheikh Zayed Solo Sudah Buka untuk Umum, Catat Aturan Berkunjung

Lebih jauh lagi, kata Ira, menurut sejarah, sebenarnya dulu sebelum Belanda dan Eropa datang, orang Tionghoa banyak yang datang ke Indonesia dan sudah bersahabat dengan pribumi.

Namun, kebijakan politik Belanda yang akhirnya menyebabkan beberapa etnis saat itu tidak bisa bersatu dan seolah dikotak-kotakkan.

"Kalau dari sejarah, salah satu yang berjasa dalam penyebaran Islam adalah orang Tionghoa. Salah satunya Laksamana Cheng Ho yang berlayar bersama ratusan kapalnya ke sini," imbuhnya.

Salah satu peninggalan Cheng Ho adalah keberadaan bedug sebagai alat penanda waktu sholat yang banyak ditemukan di masjid-masjid di Jawa.

Konon, asal mula bedug berasal dari tambur di kelenteng China yang dibawa oleh pasukan Cheng Ho untuk menandai waktu sholat di atas kapal. Kebiasaan itu terus dibawa dan diturunkan oleh raja-raja Jawa, hingga saat ini. 

Penjelasan Ira menjadi pembuka perjalanan tur "Wisata Bhineka Jejak Tionghoa Muslim di Jakarta dan Jelajah Masjid Tionghoa" yang diikuti oleh sekitar 10 peserta dari siang sampai malam hari. 

Masjid Lautze

Pemberhentian pertama, bangunan unik ruko empat tingkat berarsitektur khas Tionghoa yaitu Masjid Lautze di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

Masjid yang didirikan oleh Yayasan Haji Karim Oei pada 1991 tersebut berwarna layaknya kelenteng, dengan warna khas merah dan kuning.

"Pendirinya ingin agar stigma negatif terhadap Tionghoa dengan Islam itu terhapuskan. Sama untuk menyampaikan dakwah ke warga keturunan Tionghoa," tutur Ira.

Tak heran, cukup banyak warga asli maupun keturunan China yang akhirnya menjadi mualaf dan belajar agama Islam di masjid ini.

Selain warna khas, sejumlah kaligrafi bertuliskan huruf arab dan china berjejer rapi di dinding masjid. 

Berdiri tinggi, Masjid Lautze terdiri dari empat lantai. Lantai pertama untuk tempat ibadah laki-laki, lantai kedua tempat ibadah perempuan, lantai tiga kantor pengurus masjid, dan lantai empat aula pertemuan dan ruang belajar agama.

Selanjutnya, rombongan berpindah ke Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat untuk singgah di Masjid Jami Angke.

Bangunan cagar budaya yang dibangun sekitar tahun 1761 ini bisa ditemukan di tengah-tengah pemukiman, di balik gang.

Arsitektur Masjid Jami Angke memperlihatkan perpaduan harmonis antara unsur-unsur budaya Jawa, Bali, Belanda, dan Tionghoa.

"Ini dibangun oleh perempuan China kaya yang menikah sama orang Banten. Ia mewakafkan hartanya untuk masjid ini," kata Ira.

Arsiteknya juga dikatakan adalah seolah Muslim Tiongjoa bernama Sek Liong Tan.

Pintu masjid bersarsitektur Jawa. Sementara itu, jendela teralis di kanan dan kiri memiliki gaya bangunan kolonial, begitupun tangganya.

Sedangkan rangka atap masjid berbentuk limasan dan bersusun dua mirip gaya punggel khas rumah-rumah Bali.

Ujung atap yang runcing di paling atas layaknya wihara khas China.

Di bagian belakang dan depan masjid, pengunjung bisa menemukan beberapa makam tokoh penyebar agama Islam sejak dulu kala.

Mushala Babah Alun

Sore hari, perjalanan berlanjut agak jauh, kali ini menuju daerah Ancol di Jakarta Utara.

Pada 2019, berdiri sebuah masjid yang lebih berbentuk mushala karena ukurannya yang kecil, di kolong tol Ir Wiyoto, Jalan Pasir Putih, Ancol, Pademangan.

Memiliki nama Mushala Babah Alun, pendirinya adalah Jusuf Hamka, seorang pria keturunan Tionghoa yang sudah sering disorot karena aksi-aksi kemanusiaannya.

"Mushala ini yang kedua dibangun oleh Babah Alun, nama panggilan Jusuf Hamka. Dia memang saat itu ingin membangun 1.000 masjid," terang Ira.

Meski termasuk kecil, mushala ini terasa bersih, adem, dan terlihat unik. Sebab, arsitektur bangunan luar maupun dalamnya memang masih kental dengan nuansa Tionghoa.

Memiliki perpadua warna putih, hijau muda, dan merah, nampak atap mushola yang berbentuk bangunan Tionghoa. Sedangkan di dalamnya, terdapat tulisan Asmaul Husna dengan huruf China.

Menjelang Maghrib, rombongan mengakhiri perjalanan ke masjid bernuansa Tionghoa selanjutnya, yaitu Masjid Ramlie Musofa.

Berada di Jalan Danau Sunter Raya, Sunter Agung, Jakarta Utara, masjid bernuansa putih gading ini memiliki bangunan mewah dan menjulang tinggi bak replika Taj Mahal di India.

  • 12 Masjid Terbesar di Jawa Barat, Terbaru Ada Al Jabbar
  • Masjid Ramlie Musofa Jakarta, Taj Mahal-nya Indonesia

"Kalau Taj Mahal India dibangun atas dasar cinta sang raja terhadap istrinya, maka Masjid Ramlie Musofa ini sebagai lambang cinta kepada Allah SWT," ungkap Ira. 

Ia menjelaskan, pendiri masjid megah ini bernama Haji Ramli Rasidin, seorang mualaf beretnis Tionghoa.

Adapun nama masjid diambil dari inisial pendiri dan keluarganya, yaitu Ramli, istrinya Lie, dan anak-anaknya, Muhammad, Sofian, serta Fabian (Ramlie Musofa).

Dulu, kata Ira, sebelum dibuka untuk masyarakat umum, masjid ini hanya digunakan oleh keluarga Haji Ramli saja untuk beribadah.

Pengunjung yang datang bisa menemukan nuansa China, terutama dari beberapa tulisan tiga bahasa, yakni Mandarin, Indonesia, dan Arab yang menghiasi sejumlah sisi bangunan masjid.

https://travel.kompas.com/read/2023/03/06/144530927/seharian-berkunjung-ke-4-masjid-tionghoa-di-jakarta

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke