Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berbincang dengan Putra Bungsu Buya Hamka, Bicara Jubah dan Keluarga

KOMPAS.com - Kiprah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan sapaan Hamka sudah terdengar hingga luar negeri.

Semasa hidupnya, Hamka merupakan salah satu orang yang berpengaruh berkat pemikiran dan pengetahuannya. Isi pikirannya mengenai pendidikan, politik, sastra, dan agama lalu ia tuangkan ke dalam karya berupa novel, buku, artikel, dan tafsiran.

  • Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka: Jam Buka dan Harga Tiket
  • Rute ke Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di Sumatera Barat

Namun, siapa sangka, profesi penulis yang mengharumkan nama Hamka di mata dunia hingga saat ini dulunya merupakan profesi yang ditentang oleh sang ayah, H. Abdul Karim.

"Ayah Buya (Hamka) dulu ingin agar Buya jadi ulama, tapi Buya tidak mau, Buya maunya jadi penulis," ujar putra bungsu Buya Hamka, Amir Syakib saat ditemui oleh Kompas.com di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di Sumatera Barat, Rabu (26/4/2023).

Sembari menatap lukisan sang kakek di dinding rumah, Amir menuturkan bahwa setelah pertentangan terkait profesi tersebut, hubungan kakeknya dan Buya Hamka menjadi kurang baik.

Bahkan, kata Amir, sang kakek pernah mengancam akan menceraikan sang nenek (ibu Hamka) jika sang anak tidak mau menjadi ulama.

"Nenek dan kakek bercerai karena Buya Hamka tidak mau jadi ulama. Tapi pada akhirnya begitu dia (Hamka) pulang dari (ibadah) haji, malah disayang banget sama ayahnya," kata Amir.

Sepulangnya Hamka dari Malaysia setelah menuntut ilmu di Universtas Kebangsaan Malaysia (UKM), Amir mengatakan bahwa kakeknya menyesal karena pernah memandang sebelah mata keinginan Hamka karena sang anak telah berhasil menjadi penulis dan bergelar doktor.

"Kata ayahnya 'lai juo wa'a manjadi urang' (ternyata kamu juga bisa berhasil menjadi 'orang')" ujar Amir.

Sebagai bentuk rasa bangga sang ayah kepada Hamka, ucap Amir, kakeknya juga menghadiahi sebuah jubah coklat setelah Hamka lulus dengan gelar doktor di UKM.

Jubah asli tersebut kini bisa dilihat di Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Terlepas sosok Buya Hamka pernah dipenjara pada era pemerintahan Presiden Soekarno, Amir mengatakan bahwa Hamka dan Soekarno adalah dua orang sahabat yang sangat dekat.

"Benar, dulu Buya Hamka pernah dipenjara selama dua tahun empat bulan, dari total masa hukumannya selama empat tahun," ujarnya.

Amir mengatakan, alasan Hamka dipenjara pada saat itu yakni karena dituduh berkolaborasi dengan Malaysia untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.

Pada saat itu Hamka tidak sendirian, dirinya juga dipenjara bersama para tahanan politik laiannya.

Akan tetapi sebelum masa tahanan usai, Soekarno lebih dahulu turun jabatan sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan digantikan oleh Soeharto. Alhasil, Hamka dan para tahanan lainnya dibebaskan.

"Mereka (Hamka dan Soekarno) bersahabat, Soekarno juga cukup lama di sini sekitar enam bulan (di Maninjau). Bahkan waktu Soekarno meninggal, Hamka diminta menjadi imam jenazahnya Soekarno," terang Amir.

Hamka, sang istri, dan keluarga

"Umi ambo (ibu saya) itu orang Muaro Pauah, suku guji. Umi menikah dengan Buya saat Umi berusia 15 tahun, sementara Buya umur 20 tahun," papar Amir.

Amir melanjutkan, pada zaman dahulu, perempuan di Minangkabau yang berusia 15 tahun memang sudah dicari untuk dinikahkan.

Dari pernikahan Buya Hamka dengan sang istri, Umi Siti Raham, mulanya mereka dikaruniai 12 orang anak, namun dua orang anak meninggal saat masih bayi.

"Ada 10 orang (bersaudara), tujuh orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Sekarang ada tiga orang (anak Buya Hamka) yang masih hidup," katanya.

Amir mengatakan kakak perempuan tertuanya kini masih hidup, saat ini berusia 86 tahun. Kedua yaitu anak saudaranya bernama Afif, anak kesembilan yang kini sudah berusia 70 tahun.

"Afif itu usianya di atas saya, dia yang mendirikan sekolah Al-Azhar di Bukittinggi. Lalu yang ketiga, sisa saya sekarang (usianya) 67 tahun," ujar Amir.

Semasa hidupnya, Amir mengatakan bahwa Hamka merupakan sosok ayah sekaligus suami yang sibuk. Bahkan, usai Umi Siti Raham meninggal dunia pada 1971, Hamka justru dicarikan istri oleh anak-anaknya.

"Buya Hamka itu 24 jam sibuk dan tidak ada yang mengurus. Jadi kami jodoh-jodohkan, akhirnya Buya menikah dengan orang Cirebon tahun 1974," katanya.

Dari pernikahan Buya Hamka dengan istri kedua, Amir mengatakan bahwa Hamka tidak punya anak dan tidak pula membawa anak hingga Hamka meninggal pada 1981.

"Yang banyak berinteraksi dengan Buya itu abang-abang saya yang lahir di Medan. Kalau saya jarang berinteraksi dengan Buya, saya lebih dekat dengan Umi," pungkas Amir.

https://travel.kompas.com/read/2023/04/27/103910827/berbincang-dengan-putra-bungsu-buya-hamka-bicara-jubah-dan-keluarga

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke