Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (13)

Kompas.com - 24/03/2008, 09:20 WIB

                                                                                                                                                                            [Tayang:  Senin - Jumat]


Negeri Para Penganggur

Berjalan-jalan di Tajikistan memang tidak mudah. Angkutan umum sangkat jarang, karena harga BBM sudah tidak terjangkau lagi oleh penduduk. Di sini hukumnya, semakin tinggi tempatnya, semakin mahal harga bensinnya. Tidak ada yang tahu kapan angkutan akan lewat. Sehari penuh mungkin hanya dua saja yang melintasi desa ini. Itu pun biasanya sudah penuh sesak. Hari ini saya berencana pergi ke desa Vrang, 5 kilometer jauhnya dari Tughoz. Tetapi sudah tiga jam lebih menunggu, tidak ada juga yang lewat.

Sambil menunggu, saya mengunjungi rumah sakit di desa itu. Dokter Akhmed yang bekerja sebagai dokter kepala mempersilakan saya masuk. Bahkan desa terpencil seperti ini punya rumah sakit yang bagus. Infrastruktur di Tajikistan memang lebih bagus daripada di Indonesia. Tetapi gaji dokter Akhmed hanya 50 Somoni saja, sekitar 15 dolar, per bulan. Di Jakarta pengemis pun pendapatannya lebih besar dari ini. Dengan uang segitu di Tajikistan memang tidak akan membawanya ke mana-mana. Tetapi ia bangga dengan pekerjaannya, yang jauh lebih terhormat daripada mengemis.

Dokter Akhmed bahkan menjerang teh untuk saya, tetapi belum sempat saya minum, saya sudah harus melompat ke angkutan desa yang baru saja melintas. Vrang hanya 5 kilometer saja, tetapi saya tidak kuat berjalan sejauh itu dengan beban backpack saya, apalagi di pegunungan seperti ini. Untuk jarak tempuh segini, sopir menarik 3 Somoni, hampir 1 dolar.

Tajikistan memang miskin dan semuanya mahal. Tetapi orang-orang hidup terhormat. Seorang wanita desa yang sambil bicara sambil mengulum naswar serta-merta menawari saya tinggal di rumahnya. Katanya, suaminya adalah guru sejarah, yang tentu akan suka berdiskusi dengan saya. Seorang pria desa lain datang, dan sangat terkejut mendengar saya berasal dari Indonesia. Pria berwajah keras ini memang pengangguran, tetapi dengan dahsyat ia memamerkan kebolehannya.

            "Ada empat pulau utama di Indonesia. Yava, Sumatra, Kalimantan, dan satu lagi, hmm... apa ya, oh iya, Sulavesi!"

Walaupun dia sama sekali belum pernah mendengar kalau Papua masuk wilayah Indonesia, tetapi pengetahuannya untuk ukuran pengangguran di desa terpencil seperti ini memang luar biasa. Coba tanyakan pada supir taksi di Jakarta untuk menyebut nama tiga propinsi Tajikistan. Paling-paling jawabannya, "Tajikistan? Apa itu?"

Saya datang ke Vrang memang tanpa tujuan. Saya tak tahu hendak ke mana, menginap di mana. Wanita yang mengulum naswar tadi langsung menggeret saya ke seorang laki-laki yang sibuk mengecat kios. "Kamu menginap di rumah dia saja," kata si wanita. Laki-laki itu pun tidak keberatan.

Saya jadi menginap di rumah Khursid, laki-laki berumur 33 tahun, yang begitu saja saya temui di pinggir jalan. Keramahan orang Lembah Wakhan terhadap musafir memang tidak diragukan lagi. Khursid, seperti yang lainnya, juga pengangguran. Dia berpendidikan tinggi, dulu belajar geologi. Tetapi apa daya, negara miskin Tajikistan tidak membutuhkan geologis dari desa terpencil seperti ini. Hidup tanpa pekerjaan, Khursid menggantungkan nasib keluarganya pada adiknya yang sekarang bekerja di London.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com