Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (52)

Kompas.com - 16/05/2008, 08:27 WIB

Sekolah Temur adalah gedung sembilan lantai lengkap dengan lift kuno. Di setiap koridor, ada jajaran gambar-gambar indah dari berbagai negara dan slogan-slogan berbagai bahasa. Kelas Bahasa Indonesia berada di lantai delapan, bersama-sama dengan jurusan sastra China, Hindi, Urdu, Malaysia, dan lain-lain. Koridor ini seperti anjungan pariwisata internasional. Ada peta China lengkap dengan statistik dan foto-foto Tembok Besar. Ada gambar Taj Mahal dan kerajinan tangan India. Di langit-langit tergantung barisan pesan multilingual tentang pentingnya belajar bahasa.  

Institut bahasa seperti ini sebenarnya adalah sekolah yang saya idam-idamkan. Walaupun saya sangat tertarik belajar linguistik dan bahasa asing, namun akhirnya saya terdampar di sekolah tehnik, karena di Indonesia pendidikan bahasa asing masih dipandang sebelah mata.

Ketika jam istirahat tiba, mahasiswa-mahasiswa kelas tetangga menghambur keluar. Ada yang menyapa saya dalam bahasa Mandarin. ada yang asyik bertanya-tanya dalam bahasa Persia dan Tajik. Ada juga Rusia, Hindi, Urdu, dan Melayu. Dalam satu menit, otak saya harus berganti mode bahasa berkali-kali. Capek juga rasanya.

Saya malah sempat digeret ke kelas bahasa Urdu untuk syuting. Kebetulan ada stasiun televisi yang meliput kegiatan sekolah ini, terutama kelas bahasa Urdu. Karena muridnya kurang, maka kami yang tidak berkepentingan pun ikut dimasukkan sebagai penggembira. Sebagai penutup, saya juga sempat diwawancarai untuk siaran tentang kelas Bahasa Malaysia.

Sebaliknya, kelas Bahasa Indonesia kosong melompong. Tidak ada murid yang datang. Yang ada malah dua mahasiswa Bahasa Malaysia yang sibuk menerjemahkan teks. Suhbatullo, nama mahasiswa bertubuh subur itu, meminjamkan saya buku teksnya yang adalah buku pelajaran Sekolah Rendah di Malaysia. Ada daftar nama-nama planet – Marikh, Musyitari, Utarid, Zuhrah, Zuhal,.... Ah, pusing. Walaupun negara tetangga, ternyata nama-nama planet di Malaysia sama sekali berbeda. Belum lagi bacaan tentang folklor Melayu, yang kosa katanya mengingatkan saya pada percakapan Datuk Maringgih.

            "Bahasa Malaysia sangat senang," kata Suhbatullo. 'Senang', dalam bahasa negara tetangga artinya 'mudah'.

Lalu ke mana perginya mahasiswa asuhan Temur? Baru pada kesempatan berikutnya  saya menjumpai mereka. Betapa beruntungnya Temur, peminat bahasa nasional kita kebanyakan mahasiswi yang cantik jelita. Mereka asyik bersantap siang ramai-ramai di kantin sekolah. Mereka sudah belajar Bahasa Indonesia selama empat tahun, seangkatan dengan Temur. Totalnya semua ada 10 orang. Ada yang Bahasa Indonesianya cukup fasih, tetapi ada pula yang masih belum lancar berhitung satu sampai sepuluh.

Mengenai fenomena yang terakhir ini, saya jadi ingat seorang staf KBRI yang mengeluhkan betapa malas-malasnya murid Uzbek belajar Bahasa Indonesia. Staf dan diplomat KBRI memang terkadang datang ke sekolah ini untuk membantu mengajar, tetapi sering kecewa karena kelasnya kosong melompong karena muridnya entah ke mana semua.

            “Jangan malas-malas kalau kamu tidak ingin jadi seperti Indonesia!”demikian Mbak Rosalina sering mengingatkan murid-murid di sini,

Tak ada motivasi. Menurut Temur, Satu-satunya alasan mereka masuk kelas Bahasa Indonesia adalah karena tidak punya pilihan lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com