Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (53)

Kompas.com - 19/05/2008, 07:35 WIB

            "Kalau kamu beri 50 dolar," kata si sopir ini dalam bahasa Rusia, "saya bisa mencari HP kamu kembali." Saya langsung setuju. Bagi saya yang penting nomer telepon yang tersimpan di memori HP bisa kembali.

Sopir taksi lain yang duduk di jok belakang langsung menyanggah,
            "Nyet. Lima puluh dolar tidak cukup. Seratus dolar baru bisa."

Saya tidak punya uang seratus dolar di dompet saya.  Saya cuma ingin HP itu kembali. Saya pura-pura menyanggupi permintaannya.

Kedua sopir itu kenal mafia, gembong kriminal terbesar di kota ini. Si mafia ini adalah bos dari semua pencuri di kota ini. Satu sopir bilang dia akan ke rumah mafia untuk merayunya mengembalikan HP saya yang hilang, dan sopir yang lain menunggu di dalam mobil bersama saya.

            "Taruh uangmu di dashboard, jadi nanti kalau HP kamu kembali, kita bisa langsung membayarnya," kata sopir yang duduk di sebelah saya, sementara rekannya sudah menyetir mobil yang mesinnya memecah kesenyapan malam.

Saya memang bodoh, tetapi tidak sebodoh itu untuk menaruh uang di dalam dashboard.
            "Tidak mau," saya langsung menunduk dan menyambung dengan kesunyian.
            "Hei," si sopir tidak sabar, "dengar ya, kami ini bukan teman para pencuri. Kami hanya ingin membantu kamu mendapatkan kembali HP kamu."

Menit demi menit merayap dengan demikian lambatnya. Saya mulai merenung, memikirkan nasib saya yang berbalik drastis dari mimpi indah dan tidur lelap dalam bus antarkota. Saya jadi berpikir, apakah saya harus membuang 100 dolar hanya untuk sebuah HP kuno? Sekarang saya malah berharap HP nya tidak ketemu.

Doa saya terkabul. Sepuluh menit berselang, mobil itu kembali. Si sopir datang dengan tangan kosong. Si gembong mafia mengaku tidak mencuri HP saya, dan menyesal tidak bisa membantu. Saya benar-benar tak tahu harus senang atau sedih. HP hilang, tetapi setidaknya seratus dolar tidak melayang.

Tetapi dasar saya orang yang tidak pernah bersyukur, saya masih terus memikirkan HP yang hilang itu. Saya buru-buru naik ke bus yang akan berangkat ke Bukhara, sementara pikiran saya terus meratapi telepon yang entah sekarang berada di mana. Seperti kata pepatah, memikirkan kesialan akan mendatangkan kesialan. Waktu saya turun dari bus, kamera saya terloncat dari dalam tas, seperti atlet Olimpiade yang meloncat tinggi demi medali emas.

Rusak. Tentu saja.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com