Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (54)

Kompas.com - 20/05/2008, 06:24 WIB

Saya mengikuti Omid dan bapaknya, menerobos kerumunan ribuan orang di masjid, menuju rumah di sebuah gang kecil di belakang benteng kuno Arg. Si ibu sudah menunggu di sana. Kami minum dua cangkir teh, sebelum berangkat dengan mobil ke rumah familinya di pinggir kota Bukhara.

Omid berlari-lari senang, sehabis membantu ayahnya menyembelih kambing-kambing. Si ibu dan wanita-wanita lain sibuk menyiapkan bumbu-bumbu. Di atas kepala Omid bertengger sebuah doppi hitam kecil, membuat wajahnya semakin manis. Bocah ini kemudian memakai chapan ungu milik ayahnya, juga telpek – topinya orang Turkmen yang mirip rambut kribo Ahmad Albar.

Omid suka sekali difoto. Sehabis puas berpose dengan berbagai macam pakaian tradisional, difoto waktu bersalat, juga sambil membaca Al-Qur'an, kini ia minta difoto dengan pohon natal.

            Pohon natal?
            "Bukan. Ini pohon tahun baru!" kata si bocah kesal waktu saya bilang itu pohon natal.

Tetapi di mata saya tak ada bedanya. Pohon cemara kecil dari plastik di sudut ruang tamu, dengan lampu berkelap-kelip setelah kabelnya dicolokkan. Tak kurang juga pernak-pernik Sinterklas dan bintang majus. Si bocah super aktif ini menjadi lebih super lagi ketika berlari-lari ke mana-mana sambil membawa tongkat Sinterklas, mirip penyihir cilik yang kegirangan tiada kepalang.

Pohon natal adalah pemandangan biasa di negeri-negeri Stan menjelang datangnya tahun baru. Mereka memang tidak merayakan natal, apalagi natalnya orang Rusia itu baru datang 7 Januari. Tetapi orang-orang Eropa memperkenalkan kebiasaan merayakan Tahun Baru, lengkap dengan pohon natalnya, yang sama sekali bukan perayaan di Asia Tengah seratus tahun silam. Sekarang pohon natal menjadi ornamen wajib di penghujung tahun di semua negeri Stan, bahkan di keluarga yang sangat Islami seperti keluarga Omid di kota suci Bukhara ini. Saya jadi tersenyum sendiri melihat doppi Uzbek yang mirip kopiah itu berpadu dengan tongkat Sinterklas.

Santapan bairam yang sudah lama ditunggu-tunggu, terhidang di meja. Kambing-kambing malang yang mengembik penuh iba itu kini sudah disulap menjadi sepiring besar daging kabab disiram bumbu hitam. Keluarga besar Omid duduk mengitari meja makan. Ayah membagi-bagi irisan roti yang disobek-sobek, ibu-ibu menyiapkan mangkuk dan gelas, kami mengawali bersantap dengan bismillah.

Tiba-tiba televisi berteriak-teriak, mengabarkan kematian Saddam Hussein, mantan presiden Irak, yang dieksekusi tepat ketika umat Muslim dunia sedang merayakan Idul Kurban. Kemuraman seketika menyeruak. Mengapa harus hari ini? Mengapa sang presiden harus disembelih dalam waktu yang bersamaan dengan kambing-kambing kurban? Tetapi tak lama juga, karena pesta bairam masih belum usai. Bahkan vodka pun masih belum dituang ke mangkuk-mangkuk, yang akan menambah meriahnya pesta Idul Kurban.

Bairam, ribuan orang sembahyang di mesjid kuno, darah kambing, kabab dan vodka, pohon natal dan Sinterklas, kematian mendadak Saddam Hussein, semuanya campur aduk dalam adonan perayaan Idul Kurban di Bukhara, di penghujung tahun 2006.


(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com