Shokir terus menggoreskan kuasnya. Saya tak bisa membayangkan, apa jadinya kamar ini ketika olesan kuas kecil Shokir telah merambah semua sudut dindingnya. Setiap gurat warna, setiap coretan, semua mengandung makna dan perasaan yang dalam. Seratus tahun lagi, rumah Shokir ini juga akan dikenang sebagai bangunan bersejarah, milik seorang tukang sepatu sederhana yang berhasil menggapai mimpinya.
Siang hari, istri Shokir membawa senampan teh dan sebilah nan. Kami bersama-sama menikmati makan siang. Doa-doa bahasa Arab terus melantun indah dari kaset kuno itu.
"Bukhara adalah pusat peradaban Islam," kata Shokir, sambil menuangkan teh hijau ke dalam cangkir kecil, "kota tua ini adalah kota penting dalam agama kami." Betapa banyak pahlawan ilmu dan sastra Islami yang lahir dan besar di Bukhara. Kota ini masih menyimpan kejayaan yang tak tertandingi.
Dua bait sajak Hafez, di dinding ruangan bertabur bintang dan bunga, diiringi lantunan doa-doa merdu dan syahdu, saya takzim merenungi keluhuran peradaban kota kuno Bukhara.
(Bersambung)