Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (58)

Kompas.com - 26/05/2008, 08:12 WIB

[Tayang:  Senin - Jumat]


Orang Tajik dari Bukhara

Masih ingat Dushanbe, ibu kota Tajikistan, yang berkilau di bawah kebesaran patung Ismail Somoni di tengah Jalan Rudaki? Di sini, di Bukhara, ada makamnya Ismail Samani, atau Somoni menurut ejaan Tajikistan. Orang-orang Bukhara pun bicara Bahasa Tajik. Tetapi yang berkibar di sini adalah bendera Uzbekistan.

Di antara kakak-beradik Stan, Uzbekistan dan Tajikistan adalah yang paling dekat kekerabatannya secara kultural dan historis. Susah membedakan mana yang murni kultur Uzbek, mana yang eksklusif punya Tajik. Pria-prianya memakai jubah chapan dan topi doppi yang sama. Perempuannya juga sama-sama suka pakai daster ke mana-mana di siang hari bolong. Baik orang Uzbek maupun Tajik sama-sama mendecakkan lidah di gigi belakang sebagai pengganti kata 'tidak'. Adat pernikahan, perkabungan, arsitektur rumah, tata krama, semuanya mirip. Bangsa Uzbek dan Tajik sudah lama hidup menetap, memeluk Islam, dan saling berinteraksi satu sama lain selama berabad-abad. Perkawinan antar suku pun sudah berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka.

Perbedaan yang paling mencolok antara orang Uzbek dan Tajik adalah bahasa. Bahasa Uzbek masih sekeluarga dengan Bahasa Turki, sedangkan Tajik sekeluarga dengan Bahasa Persia di Iran. Raut wajah pun kalau diperhatikan betul-betul, memang sedikit berbeda. Orang Uzbek ada kesan-kesan Mongoloidnya, dengan mata yang agak lebih sipit. Nenek moyang orang Uzbek juga bangsa pengembara, tetapi kehidupan nomaden itu sudah lama ditanggalkan. Orang Tajik wajahnya lebih mirip orang Eropa, ras Kaukasus, dengan hidung super mancung, kulit putih, dan mata  lebar.

Sebenarnya adalah para pemimpin Soviet lah yang menciptakan Uzbekistan dan Tajikistan, bersama Stan-Stan lainnya, ditaburi semangat nasionalisme kesukuan dan benih-benih perpecahan, untuk mengalahkan bahaya Pan-Persia, Pan-Turkisme dan Pan-Islamisme di Asia Tengah. Suku-suku didefinisikan. Uzbek dipisahkan dari Tajik, yang semula keduanya disebut Sart. Orang Kirghiz menjadi Kazakh, dan orang Kara-Kirghiz menjadi Kirghiz.

Soviet kemudian mendirikan negara-negara, habitat bagi suku-suku yang diciptakannya. Asia Tengah diiris-iris menjadi republik-republik. Tahun 1929 Tajikistan dipecah dari Uzbekistan. Orang-orang berbahasa Persia ini dikasih gunung-gunung dan desa-desa di bagian timur, miskin sumber daya alam. Dushanbe, yang merupakan desa kecil tanpa sejarah, dijadikan ibu kota Tajikistan. Sedangkan Bukhara dan Samarkand, pusat peradaban orang-orang Tajik berbahasa Persia, tetap menjadi milik Uzbekistan.  

Inilah titik mula perseteruan abadi antara Uzbekistan dan Tajikistan. Tajikistan beranggapan, Bukhara dan Samarkand harus jadi wilayah Tajikistan, karena dihuni oleh orang-orang Tajik dan berbahasa Tajik. Khusniddin, mahasiswa sejarah timur di Tashkent, beranggapan bahwa bahasa tidak bisa semata-mata menjadi alasan.

Zaman dulu, bahasa Persia adalah bahasanya orang berpendidikan. Apa pun sukunya, bahasanya tetap Persia. Sultan-sultan di Asia Tengah waktu itu, kebanyakan orang Turki, tetapi pemerintahannya semuanya berbahasa Persia. Termasuk di antaranya Sultan Seljuk dengan hulubalang Persianya yang termashyur, Nizam-al-Mulk, yang sering disebut-sebut dalam hikayat sang pujangga Omar Khayyam.

Singkat cerita, Bahasa Persia waktu itu menduduki tempat terhormat, dan Bahasa Turki dipinggirkan. Kota-kota peradaban dan pemerintahan, seperti Samarkand dan Bukhara, tentu menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan Persia. Sedangkan desa-desa di pinggiran, habitatnya rakyat jelata, masih berbahasa Turki. Beberapa abad berselang, model ini masih nampak hingga sekarang. Bahasa Turki menghasilkan bahasa Uzbek, dan bahasa Persia di Asia Tengah menjadi bahasa Tajik. Orang-orang di pusat kota Samarkand dan Bukhara semua berbahasa Tajik, dikelilingi oleh desa-desa yang penduduknya cuma bisa bertutur dalam bahasa Uzbek.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com