Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (59)

Kompas.com - 27/05/2008, 08:07 WIB

Tentang penampilan yang seperti ini, saya jadi teringat sebuah hikayat Nasruddin yang pernah saya dengar di Afghanistan:

Suatu hari, seorang penduduk desa yang buta huruf minta tolong pada Nasruddin untuk membacakan surat. Nasruddin ternyata juga buta huruf. "Maaf, saya tidak baca," ujarnya. Si penduduk desa sangat kecewa, "Benar-benar memalukan! Kamu seharusnya malu pada surbanmu itu!" Di zaman itu, surban adalah simbol alim ulama, orang yang berpendidikan. Nasruddin kemudian melepaskan surbannya, dan diataruhnya di atas kepala orang desa itu. "Surban lambang kepintaran, bukan? Sekarang kamu juga pakai surban. Kalau kamu jadi pintar gara-gara surban, coba sekarang kamu yang baca surat ini!"

Jangan melihat orang dari bajunya. Demikian kebijaksanaan yang diajarkan Mullah Nasruddin dari cerita lucunya. Walaupun kita masih bisa tertawa tergelak-gelak mendengar keluguan Nasruddin, apakah kita juga sama tergelaknya mentertawakan dunia sekitar kita, di mana baju dan perhiasan membungkus dan mengaburkan diri kita yang sebenarnya?

Sang kakek Tajik juga terkekeh-kekeh menceritakan kisah-kisah Nasruddin yang masih dia ingat. Saya terus memandangi gedung-gedung madrasah raksasa yang mengelilingi kolam. Bukhara memang mesin waktu, yang membawa angan saya terus melayang ke zaman Nasruddin, Aladin, Ali Baba, dan legenda-legenda masa lalu.

Tetapi di sini, di Bukhara, legenda itu tetap hidup bersama gedung-gedung kuno yang telah bertahan melintasi derasnya aliran waktu. Zaman terus berputar, tetapi Bukhara tetap melenggang dalam dunianya sendiri.

Ratusan tahun lalu, Bukhara dikenal karena pasar-pasarnya yang hiruk pikuk di bawah atap batu, di tengah lorong-lorong kecil, berkelok-kelok bak labirin. Ada Taqi Zargaron, pasar perhiasan, di mana semua saudagarnya berdagang permata, mutiara, dan zamrud. Ada Taqi Sarrafon, pasar penukar uang, yang mendukung transaksi antar bangsa ketika Bukhara masih menjadi pusat perdagangan ramai di zaman keemasan Jalan Sutra. Ada juga pasar topi Taqi Telpak Forushon, yang dikelilingi pemandian umum hammam dan sekolah-sekolah agama bagi para santri.

Sekarang, pasar-pasar kuno semua masih ada, tersebar di labirin kuno kota Bukhara, walaupun kini barang dagangannya hampir sama semua – barang suvenir untuk para turis.

Kehidupan di Bukhara melintasi perjalanan panjang dari zaman hikayat Nasruddin, zaman raja khan yang hidup di dalam benteng Arg yang mewah dan punya kebiasaan melempar tawanan dari puncak menara, zaman kuno di mana semua perempuan dibungkus cadar, zaman perang melawan Rusia, zaman komunis Uni Soviet, sampai sekarang zaman Uzbekistan merdeka. Bukhara hidup melintasi dimensi demi dimensi waktu, namun kehidupan masih melenggang dengan demikian santainya.

Klak, klik, klak, klik, kakek-kakek tua berjubah chapan duduk di pinggir jalan, berkonsentrasi penuh pada sebuah papan. Ada dadu dan keping-keping bundar. Permainan ini bernama nardi, salah satu permainan papan terkuno di dunia, yang sudah hidup di Asia Tengah sejak zamannya hikayat raja-raja Shahnama tulisan sang pujangga Firdausi.

Apakah dulu Mullah Nasruddin juga menghabiskan hari-harinya di atas papan nardi yang sama, di pasar-pasar yang hiruk pikuk di tengah ruwetnya kota kuno Bukhara? Entah. Jangan terlalu banyak berpikir tentang dimensi waktu, yang hanya membuat pusing. Biarlah hidup ini berlalu apa adanya, sesuka waktu yang terus mengalir, seperti petuah Nasruddin tentang kiamat.

"Ada dua macam kiamat, kiamat besar dan kiamat kecil," kata sang Mullah, "kiamat kecil yaitu kalau istriku mati. Kiamat besar yaitu ketika giliran aku yang mati."


(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com