Seperti para pedagang suvenir di Bali yang lebih antusias dengan turis asing, para pedagang di Registan juga lebih senang dengan wisman. Tapi tidak sembarang orang asing.
"Yang paling royal adalah turis Amerika dan Jepang," kata seorang pedagang, "disusul Rusia, Jerman, Perancis. Kalau yang paling pelit, China dan Korea."
Para pedagang di sini juga punya koleksi kalimat dalam pelbagai bahasa untuk menarik perhatian para turis. Malah tidak sedikit yang bahasa Jepangnya cas cis cus. Maklum, turis Jepang memang dikenal tak sayang duit.
Empat abad berselang, tempat suci ini kini bukan lagi Samarkand-nya Amir Temur atau Registan-nya Omar Khayyam. Tempat ini adalah surganya turis dan pedagang suvenir. Bahkan mihrabnya masjid emas Tilla-Kari sudah dirambah karpet dan boneka yang digelar para penjual.
"Marhamat. Marhamat," saya tak pernah putus asa menawarkan barang. Ayo beli. Ayo. Jangan cuma tanya kancha.
(Bersambung)