Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (65)

Kompas.com - 04/06/2008, 09:28 WIB

Benar saja. Ibu Firuza yang baru pulang segera sibuk menyiapkan teh dan segala macam permen, kismis, dan manisan untuk saya. Halima, wanita paruh baya bertubuh besar ini, tersenyum manis sekali, memamerkan barisan gigi emasnya.

Demikian halnya dengan ayah Firuza. Rambutnya sudah memutih semua, walaupun sebenarnya tidak terlalu tua.

            "Yakhshimisiz? Apa kabar?" sambutnya, sambil menyalami saya dan meletakkan tangan kirinya di atas dada, gestur orang Uzbek melambangkan penghormatan yang terdalam.
            Saya menyambut salamnya dengan gerakan yang sama, setengah membungkuk, "Yakhshi, rahmat. O'siz yakshimisiz?"

Kami banyak berbincang-bincang tentang kehidupan di Uzbekistan, yang tak lama saya kenal. Saya merasakan perasaan yang sangat dalam ketika Komil, sang ayah, bercerita tentang adik Firuza yang bernama Farangis. Berulang kali ia menyebut Farangis sebagai buah hatinya.

Sore hari, Farangis datang, dan sang ayah menciumi dengan penuh mesra. Wajah Farangis mirip Firuza, tetapi gadis ini sangat lincah.

            "Dia suka menari," kata Komil, "nanti suatu hari ia akan berhasil sekolah di Tashkent, masuk sekolah tari di sana." Farangis hanya tersenyum tersipu-sipu. Kalau jadi ke Tashkent, anjuran saya, jangan lupa untuk mengkontak mbak Murtie untuk minta diajari tarian Indonesia. Ujung-ujungnya keluarga itu malah mendaulat saya untuk menari tarian Indonesia, yang tentu saja saya tidak bisa.

Orang Uzbek, sekalipun susah hidupnya, tidak pernah lepas dari tarian. Terlebih lagi di Lembah Ferghana, jantungnya kebudayaan Uzbek. Farangis langsung berdiri, berputar cepat dan menggerakkan tangan dengan lincah. Tarian Uzbek memang biasanya berirama cepat, penuh keceriaan. Sang ayah bertepuk tangan berirama, dan membuat Farangis semakin lincah menari dan melompat. Bahkan si ibu yang sibuk menyiapkan makan malam, ikut bergabung menari bersama anaknya.

Nasi plov terhidang di atas sebuah piring besar di atas meja makan keluarga ini. Plov, atau osh pilao dalam bahasa Uzbek, adalah makanan nasional negara ini. Tidak ada pesta pernikahan atau perkabungan yang tidak menyajikan nasi plov. Nasi berminyak menggunung tinggi, puncaknya ditutup oleh gumpalan-gumpalan daging kambing, semakin indah warnanya dengan tebaran irisan wortel panjang-panjang, semakin sedap rasanya dengan butir-butir kismis, semakin hangat rasanya ketika dimakan bersama-sama. Tak lupa dengan nan, roti Uzbek yang berukuran bundar besar.

Kebersamaan, adalah hal yang utama di sini. Ibu Firuza tidak membagi nasi plov dalam piring-piring. Ayah, ibu, Firuza, Farangis, dan saya makan dari piring besar yang sama. Mereka semua makan dengan tangan, tetapi saya lebih terbiasa dengan sendok.

Sehabis makan, kami bersama-sama menengadahkan tangan. Ibu Firuza komat-kamit membaca doa, dan kami berlima berseru "amin", sambil membuat gerakan meraupkan kedua tangan ke wajah. Ini adalah tanda syukur yang tidak boleh terlupakan sehabis makan. Saya membantu membawa piring-piring ke dapur. Firuza membungkus sisa-sisa roti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com