Saya terbelalak melihat kain pembungkus roti itu. Kain atlas! Dari sutra murni, berwarna-warni cerah dengan motif wajiknya yang khas.
"Di sini semua memang dari sutra," kata Firuza bangga, "ini khas Margilan, kota sutra." Tidak mahal itu? Semeter kain atlas buatan tangan harganya sekitar 4 dolar, sayang juga kalau dipakai hanya untuk membungkus roti.
Tetapi bagi orang Uzbek, dan orang-orang Asia Tengah lainnya yang berlatar belakang kultur nomaden, roti adalah benda suci. Tidak boleh dibuang-buang, tidak boleh ditaruh di tanah, dan tidak boleh diletakkan tengkurap. Roti adalah sumber kehidupan yang harus dihormati. Maka tidak salah kalau sisa roti pun dibungkus dengan kain sutra.
Keesokan paginya, Firuza mengenakan pakaiannya yang paling cantik. Pakaian kain atlas dari sutra. Lembut, mengkilap, dan memancarkan keindahan warna-warna cerah. Melekat di atas tubuh Firuza, pakaian longgar ini memancarkan aura keanggunan. Baju orang Uzbek, juga seperti orang Tajik, kebanyakan sangat longgar seperti daster. Keanggunan dan kecantikan memang tidak harus berarti ketat dan modern.
Firuza dalam sekejap berubah menjadi seorang puteri Uzbek dalam fantasi saya. Topi kecil bersudut empat bertengger miring di atas rambutnya yang hitam. "Salom... salom...," katanya sambil membungkukkan badan tiga kali, mengawali hari saya yang baru di Lembah Ferghana.
(Bersambung)