Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulang ke Desa

Kompas.com - 09/06/2008, 09:57 WIB

Semenjak “Kampung Wisata” milik Hester Basuki di Desa Cinangneng, Kecamatan Ciampea, dekat Bogor, populer sekarang makin banyak tempat yang menyediakan fasilitas bagi anak-anak kota mengenal kehidupan pedesaan. Beberapa di antaranya bahkan dikembangkan menjadi semacam outbound bagi anak-anak. Di Ciputat, misalnya, ada “Tanah Tingal” yang diwariskan oleh almarhum Marsekal TNI AU Budihardjo.

Sekarang, tempat favorit saya untuk membawa cucu-cucu, sayangnya, terletak sangat jauh dari Jakarta. Jarak tempuh berkendara dari Jakarta sekitar empat jam. Letaknya di dekat Garut, sebelah Tenggara Bandung. Kebetulan, di sana ada dua tempat berdekatan yang cocok untuk membawa cucu-cucu berlibur.

Yang pertama adalah “Mulih k’ Desa”. Ini adalah sebuah rumah makan gaya tradisional. Beberapa saung (gubug) didirikan di antara pematang sawah, sebagai tempat makan bagi para tamu.

Dulu, tamu yang datang langsung disuguhi rangginang dan sukun goreng. Sekarang, suguhan berupa singkong goreng. Tehnya disajikan dalam sebuah ceret besar. Cangkir-cangkirnya terbuat dari kaleng (mug). Semuanya disajikan secara ndeso. Begitu juga piring-piringnya terbuat dari kaleng yang disebut ompreng, dengan lapisan enamel berwarna burik. Djadoel banget deh, pokoknya.

Ada satu item dalam menu yang disebut Nagalengan. Ini dapat dipilih bila kita makan berempat, karena porsinya memang untuk empat orang. Penyajiannya mirip ibu-ibu petani ketika mengantar makanan kepada suami yang sedang bekerja di sawah. Nasi liwet di dalam kastrol (periuk dari aluminum). Lauk-pauknya dimasukkan ke dalam rantang. Isinya: goreng ayam, tumis labu siam, ikan asin peda, semur jengkol, goreng tahu dan tempe. Perlu diingat, “goreng” dalam bahasa Sunda berarti “jelek”. Karena itu disebut goreng ayam, bukan ayam goreng.

Mungkin karena suasananya benar-benar otentik pedesaan dan sangat jarang dinikmati orang kota, maka semua makanan yang disajikan pun terasa ekstra nikmat.

Di “Mulih k’ Desa”, ada hamparan sawah yang dapat dikunjungi para tamu. Ada juga sepasang kerbau yang dapat dipegang dan dielus oleh anak-anak. Bahkan boleh juga ditunggangi bila berani. Demonstrasi membajak sawah juga sering dilakukan bila cukup banyak pengunjung.

Lapangannya yang cukup luas merupakan arena yang cocok bagi anak-anak melakukan permainan-permainan anak-anak desa. Misalnya, bermain egrang, perlombaan bakiak tandem, dan lain-lain.

Sebetulnya, “Mulih k’ Desa” juga memiliki beberapa pondok yang dibangun di tengah sawah. Pondok-pondok itu dapat disewa sebagai tempat menginap. Tetapi, saya lebih suka menginap di tempat lain, tidak jauh dari sana.

Tiga kilometer setelah ”Mulih k’ Desa” ada sebuah fasilitas penginapan unik yang sudah beberapa tahun sebelumnya dibuka. Namanya, “Kampung Sampireun”. Di resort and spa ini, bukan hanya anak-anak yang akan menikmati, melainkan juga mereka yang tergolong newly weds dan nearly deads.

“Kampung Sampireun” adalah kumpulan sekitar 15 pondok (bungalows) yang dibangun dari bambu dan kayu, mengitari sebuah situ (danau kecil) yang panjangnya sekitar 120 meter. Mengelilingi danau dibangun jalan untuk menghubungkan pondok satu dengan lainnya. Tetapi, sebenarnya, jalan utama untuk menuju tempat-tempat itu justru melalui danau. Dari lobby, tamu diantar dengan rakit besar atau perahu untuk menuju pondok masing-masing.

Setiap pondok memiliki perahu sendiri. Para tamu perlu belajar mengayuh perahu untuk menuju restoran, spa, atau lobby. Menyenangkan, ya? Saya bahkan menukar jatah olahraga saya dengan mengayuh sampan berputar-putar danau selama satu jam lebih.

Pemandangannya sangat indah. Khususnya pada saat matahari menjelang terbenam. Begitu juga pada pagi hari ketika matahari terbit. Hangatnya sang surya perlahan-lahan menggantikan malam yang dingin di sekitar danau. Saat yang sungguh tepat untuk berolahraga mengayuh perahu keliling danau.

Pada pukul setengah tujuh pagi, sebuah perahu dengan seorang pendayung dan seorang gadis pembuat surabi (serabi) berkeliling dari pondok ke pondok. Mereka menawarkan surabi sebagai hidangan pagi sebelum sarapan. Ada surabi kinca (dengan santan dan gula merah). Ada pula surabi oncom dengan sambal oncom yang lezat.

Setiap malam, perahu yang sama juga berkeliling danau menawarkan sakoteng (wedang sekoteng). Di atas perahu juga ada dua orang pemain kecapi suling yang terus-menerus memainkan instrumen musik mereka. Irama kecapi suling – au naturel, tanpa pengeras suara – yang mendayu-dayu di malam hari sungguh membuat pengunjung dapat merasakan suasana pedesaan secara lekat.

Ada satu hal yang saya rasa sedikit mengganggu di Kampung Sampireun. Yaitu, suara sepeda motor dengan knalpot terbuka masih mengganggu keheningan di tempat ini. Khususnya di malam hari. Kebisingan adalah pencemaran lingkungan yang jarang disadari orang.

Ya, desa memang selalu menimbulkan kerinduan tersendiri. Sebuah “kemewahan” yang tiada tara. Khususnya ketika usia kita semakin beranjak senja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com