Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (70)

Kompas.com - 11/06/2008, 07:42 WIB

Sama asingnya dengan benda-benda kuno di museum sekolah, Bapak Juma membawa saya ke museum Manas, juga di dalam gedung sekolah. Manas adalah hikayat bangsa Kirghiz, kebanggaan peradaban kesusastraan dari sebuah bangsa pengembara. Pada tahun 1995, Kyrgyzstan merayakan 1000 tahun hikayat kepahlawanan Manas, menggelar berbagai pesta dan festival di seluruh negeri, menghabiskan dana jutaan dolar. Ketika sebuah negara miskin menghabiskan dana sebesar itu untuk merayakan sebuah dongeng hikayat, Anda tahu ada proyek dan cita-cita ambisius yang tersembunyi di baliknya.

Manas, kini sudah menjadi bagian dari jati diri bangsa Kirghiz.

            "Tetapi sayang, anak-anak Uzbek di sini tidak tahu tentang Manas, atau susah sekali membayangkannya," kata Kepala Sekolah, "karena itu saya membuat Museum Manas di sini, supaya anak-anak bisa mengenal sejarah masa lalu."

Sejarah yang dimaksudnya, bukan sejarah leluhur mereka sendiri, tetapi sejarah bangsa pengembara Kirghiz yang berawal dari padang gembala dan kemah-kemah.

Warna merah membara mendominasi ruangan ini. Saya seperti berada dalam sebuah yurt, kemah pengembara. Manastyn Jurtu, Kemah Yurt Manas, demikian Bapak Juma menjuduli Museum ini. "Seribu Tahun Manas" dan "1995 – Tahun Manas, Resolusi PBB dan UNESCO" menggiring para siswa kepada kebanggaan peradaban Kyrgyzstan. Gambar-gambar pahlawan Manas dan pejuang-pejuang padang gembala lainnya menghiasi dinding kemah ini. Juga ada foto patung Manas di Bishkek, pengantin tradisional Kirghiz, dan lambang negara Kyrgyzstan yang mengedepankan burung dan gunung salju.

Di tengah yurt ada replika buku raksasa "Kyrgyzstan – Kyzyl Kitebi", atau "Buku Merah Kyrgyzstan". Ini bukan bukunya Lenin, Stalin, Mao Tsetung, atau Kim Il Sung. Walaupun sama-sama berjudul Red Book, Buku Merah Kyrgyzstan mendaftar spesies flora dan fauna langka di negara itu. Replika ini bisa dibuka, layaknya buku sungguhan. Di dalamnya ada tempelan gambar hewan dan tumbuhan aneh-aneh.

Sekarang Bapak Juma membawa saya ke ruang kelas. Murid-murid berbaris sebelum masuk kelas. Bisa dikatakan hampir semuanya adalah etnis Uzbek, dan semuanya ramai bercakap-cakap dalam bahasa Uzbek.

            "Tetapi kami juga belajar bahasa Kirghiz," kata Bapak Juma yang sekarang membawa saya ke ruang kelas bahasa nasional.

Setiap kelas didesain sedemikian rupa untuk membawa suasana yang lebih alami. Misalnya untuk kelas bahasa Kirghiz, desain interiornya juga dibuat mirip-mirip kemah yurt, lengkap dengan siluet lubang matahari yang menjadi lambang negara. Untuk kelas bahasa Uzbek, desain interiornya seperti halnya rumah tradisional Uzbek, lengkap dengan barisan pilar-pilarnya yang berukir-ukir. Tak banyak slogan-slogan yang bertaburan di ruang kelas ini, seperti yang memenuhi kelas-kelas di Gulshan sana.

Kyrgyzstan, negeri yang sama sekali tidak bisa dibilang makmur, ternyata masih memperhatikan kualitas sekolah di ujung batas negaranya. Sebuah sekolah yang sampai detailnya pun dipikirkan masak-masak, mulai dari museum, hikayat pahlawan, hingga ornamen-ornamen yang ditempel dalam kelas. Walaupun di sini tak ada murid etnis Kirghiz, tetapi budaya Kirghiz dan Uzbek berpadu dengan apiknya. Di sini saya belajar bahwa menanamkan nasionalisme pada bangsa minoritas tidak perlu dengan jargon-jargon dan slogan kelas tinggi. Ornamen-ornamen indah dan gambar-gambar cantik jauh lebih efektif daripada semboyan-semboyan maya.

            "Tentu saja saya cinta Kyrgyzstan," kata Bapak Juma ketika saya bertanya tentang arti nasionalisme baginya, "karena saya adalah warga negara Kyrgyzstan."

(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com