Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (71)

Kompas.com - 12/06/2008, 06:33 WIB

            "Anak-anak, siapa nama presiden kita?" tanya si pembesar Tajikistan.
            "Islom Karimov," jawab murid-murid serempak. Islom Karimov adalah Presiden Uzbekistan. Tentu saja si pejabat Tajikistan langsung merah padam mukanya.
            "Bukan. Bukan. Presiden kita adalah Imomali Rahmonov. Ayo kita coba lagi. Anak-anak, siapa nama presiden kita?"
            "Islom Karimov!!!" Anak-anak Uzbek itu masih keukeuh dengan pendiriannya.
            Kalau tadi si pejabat Tajik merah padam wajahnya, sekarang sudah tidak tahu lagi apa warnanya.

Garis-garis batas negara, yang melintang tidak karuan di Lembah Ferghana, adalah penentu takdir manusia-manusia yang hidup di sini. Ada garis negara mengiris gang, mengiris pekarangan rumah, dan sawah ladang. Tahu-tahu saja seseorang menjadi warga negara A sedangkan tetangganya jadi warga negara B.

Bukan hanya konsep-konsep besar seperti pendidikan, peradaban, sejarah, dan ideologi, masalah-masalah real seperti perekonomian pun cukup membuat pusing. Perdagangan antar kampung sekarang sudah naik level menjadi perdagangan antar negara. Ada pajak internasional, bea cukai, karantina, registrasi, deklarasi, izin impor, dan macam-macam tetek bengek lainnya. Orang kampung mana yang gembira dengan ruwetnya birokrasi internasional macam ini? Toh belanjanya juga cuma dari kampung sebelah.

Saya berkunjung ke 'pasar internasional' di Halmiyon (wilayah Kyrgyzstan), di mana sekarang warga Gulshan (warga negara Uzbekistan) bebas berbelanja. Hari ini bukan hari pasar, sepi sekali. Kargo bekas truk disulap menjadi toko-toko yang berbaris rapi dalam jalur dan lajur. Jangan bayangkan ini sebagai pasar internasional yang megah. Ini cuma pasar kampung biasa. Cuma karena yang berjual beli di sini adalah warga dua negara berbeda, makanya disebut pasar internasional. Barang-barang yang dijual pun kebanyakan made in China.

Dalam perdagangan internasional, mata uang tentu menjadi masalah. Beberapa toko memasang papan "Kami Menerima Dolar dan Som." Juga ada penukar mata uang yang berkeliling mencari konsumen, membawa kresek hitam besar dan berteriak menawarkan uang seperti menawarkan pisang goreng. Mata uang Sum Uzbekistan memang nilainya kecil sekali. Pecahan terbesar, 1.000 Sum, nilainya bahkan tidak sampai 1 Dolar, atau cuma 40 Som Kyrgyzstan. Saya melongok 'dagangan' si penukar uang. Isinya recehan uang kertas 100 dan 200 Sum, diikat bergepok-gepok, dibungkus kain serbet. Benar-benar seperti pisang goreng.

Di sini, etnis Uzbek di mana-mana. Mencari orang Kirghiz yang benar-benar Kirghiz susah sekali, baik di pasar ini maupun di pusat Halmiyon. Saya sempat bertanya, mengapa Halmiyon harus jadi wilayah Kyrgyzstan kalau semua orangnya orang Uzbek. Tidak ada yang menjawab pasti.

Setelah beberapa malam tinggal di sini, saya semakin berani melintas ke Halmiyon dengan muka tanpa dosa. Tak lagi lewat jalan-jalan tikus di gang-gang, tetapi dengan gagah berani melintasi portal Uzbekistan dan Kyrgyzstan yang melintang di jalan raya utama antara Gulshan dan Halmiyon. Dicegat oleh tentara perbatasan pun tidak. Mungkin karena wajah saya sudah seperti orang Kirghiz.

Benar-benar negeri antah berantah, saya membatin.

(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com