Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkelana ke Negeri-negeri Stan (75)

Kompas.com - 18/06/2008, 07:27 WIB

Bahasa Uzbek juga sangat kental pengaruh Persianya. Ada sumber yang menyebutkan bahwa Bahasa Uzbek adalah Bahasa Turki dengan 60 persen kosa katanya berasal dari bahasa Persia. Kebetulan, saya sebelumnya sudah cukup fasih bicara bahasa Tajik, yang dekat dengan bahasa Persia, sehingga seringkali saya bisa menerka-nerka arti pembicaraan dalam Bahasa Uzbek. Kebalikannya, bahasa Tajik adalah bahasa Persia yang ter-Turkisasi.

Dengan masuknya Islam, kata-kata bahasa Arab pun memperkaya kosa kata bahasa Uzbek. Bahkan sampai orang Uzbek sendiri pun tak tahu. Pernah suatu hari saya menyapa orang di pasar, “Assalomualaikum!”. Si bapak tua berseru terkejut, “Wah! Hebat! Kamu bisa bahasa Uzbek!” Dikiranya Assalamualaikum adalah ‘halo’-nya bahasa Uzbek.

Kalau soal tulisan, dibanding bahasa-bahasa di keempat stan lainnya, bahasa Uzbek nampak paling 'bersahabat' buat mata kita, karena ditulis dengan huruf latin dan ejaan yang mirip dengan bahasa Indonesia. Ketika Uni Soviet bubar, para stan bersaudara (kecuali Tajikistan) ditambah Azerbaijan memutuskan untuk segera menghapus huruf-huruf Rusia dan mengganti dengan huruf Latin. Dalam semalam, papan-papan bertulis huruf Rusia di Turkmenistan dan Azerbaijan lenyap seketika. Sedangkan di Kazakhstan dan Kyrgyzstan, setelah 15 tahun berselang, huruf Rusia masih kukuh bertahan.

Uzbekistan berada di tengah kedua ekstrim itu. Slogan-slogan pemerintah bertaburan di sudut-sudut kota, ditulis dengan huruf Latin. Tetapi bahasa Uzbek yang ditulis dengan huruf Rusia juga masih terlihat di mana-mana. Bahkan uang Sum pun masih dicetak dengan huruf Rusia, dan hanya sejak beberapa tahun yang lalu perangko Uzbekistan mulai ditulis dengan huruf Latin. Pemerintah menetapkan tahun 2008 sebagai batas akhir penggantian aksara secara penuh dari huruf Rusia ke huruf latin.

Mengapa butuh waktu hampir 17 tahun untuk mengganti huruf saja? Uzbekistan, sebelum secara resmi mengganti hurufnya, mulai mengajari dulu anak-anak sekolah, mencetak buku-buku teks, dan pelan-pelan mensosialisasikan huruf Latin lewat berbagai media. Kebalikan dengan Turkmenistan, yang dalam sekejap malam menyulap hurufnya, dan pada esok harinya menjadikan semua penduduknya buta huruf karena tidak bisa membaca lagi pesan-pesan pemerintah. Bahkan presiden agung Turkmenistan, di balik gembar-gembornya 'men-Turkmen-kan' negara itu, masih asyik menulis dengan huruf-huruf Rusia.

Secara ideologis, penggantian huruf Rusia ke huruf Latin punya makna nasionalisme yang dalam. Negara-negara baru ini ingin melepaskan kungkungan masa lalu mereka bersama Rusia, ingin membangun jati diri negara muda Asia Tengah. Niatan membentuk nasionalisme dimulai dengan pembedaan identitas, membedakan diri dengan Moscow, membedakan diri dengan negara-negara tetangga.

Contohnya saja Uzbekistan dan Turkmenistan. Walaupun sama-sama berbahasa Turki dan berniat mengganti bahasanya ke huruf Latin, keduanya menciptakan abjad yang berbeda. Tidak seperti Tajikistan yang malah meng-Iran-kan dan mem-Persia-kan dirinya, negara-negara berbahasa Turk di Asia Tengah (Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan) malah membuat jarak dengan 'saudara tua' di Istanbul sana. Masing-masing negara bikin abjad sendiri-sendiri. Bahasa Turkmen malah sempat pakai huruf-huruf ajaib, seperti '$', '¥', dan '£', walaupun kemudian setelah lewat beberapa tahun diganti lagi dengan huruf lain yang lebih normal.

Bahasa adalah kebanggaan bangsa. Turkmenbashi, sang presiden Turkmenistan yang selalu diagungkan bak dewa, pernah mengatakan bahwa huruf Latin adalah peninggalan bangsa Turkmen yang diwariskan bagi kemajuan peradaban manusia. Anda tidak percaya? Saya pun tidak. Tetapi yang paling penting di sini adalah pembentukan identitas bangsa melalui bahasa, yang masih menjadi beban pikiran negara-negara Stan, bahkan setelah belasan tahun merdeka.

Ketika pemerintah sibuk-sibuknya dengan program-program bahasa nasional, minoritas Rusia yang tinggal di Turkmenistan dan Uzbekistan mengeluh keras-keras. Pekerjaan semakin susah bagi mereka yang tidak bisa bahasa nasional, dan mereka sudah terlalu tua untuk belajar bahasa baru lagi (dengan huruf yang baru pula).

Dalam pencarian identitasnya, negara-negara artifisial ini harus menghadapi segala macam rintangan.


(Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com