Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nikmatnya Gudeg Pawon di Tengah Malam

Kompas.com - 20/07/2008, 07:32 WIB

Oleh: Maria Serenade Sinurat, Amanda Putri Nugrahanti & Harry Susilo


MENEMUKAN
Kota Yogyakarta yang ”waton-waton asal kelakon”, biar lambat asal selamat, mungkin sudah susah. Jalanan kini karut-marut. Namun, soal lidah, jangan salah! Kota ini masih setia menggoda pendatang dengan gudeg yang sedikit cicip langsung merangsang indera pengecap.

Selamat datang di Kota Gudeg! Kalau pagi buta perut sudah minta jatah, di sepanjang jalan Malioboro para penjaja gudeg sudah menanti. Siang hari, tengok kawasan Wijilan—dikenal sebagai kawasan sentra gudeg—yang mayoritas menjual gudeg kering.

Malamnya, kawasan Jalan Laksda Adi Sucipto bisa jadi pilihan.  Lebih malam lagi? Coba mampir di gudeg pawon yang terletak di Jalan Janturan Nomor 36-38 Warungboto, Umbulharjo, Yogyakarta.

Jarum jam hampir menunjuk pukul 23.00 malam ketika tiba di warung gudeg Rubiyem atau akrab disapa dengan Mbah Prapto Widarso (72). Bagi yang baru pertama kali datang, mungkin bisa tersesat karena tidak ada papan penanda warung.

Tanya saja penduduk lokal dengan menyebut nama gudeg pawon, mungkin mereka akan rela menjadi penunjuk jalan ke lokasi. Sesuai dengan namanya, pawon—yang artinya dapur—warung gudeg satu ini memang menyajikan sensasi makan di dapur. Di ruangan berukuran 4 meter x 6 meter yang dindingnya mulai menghitam, pengunjung bisa langsung memesan.

Pada Rabu (16/7) malam itu Mbah Prapto ditemani anak dan menantunya melayani pengunjung. Di pawon itu ada tiga tungku yang dua di antaranya tetap menyala. Tungku pertama untuk memasak nasi, yang lain untuk memanasi telur yang dimasak dengan santan.

Kuali dan panci berukuran besar diletakkan di tempat cuci piring tidak jauh dari tungku. Opor ayam terus dipanaskan di sisi lain pawon dengan kompor minyak tanah. Begitu memesan, salah satu dari anggota keluarga akan segera mengambil piring, menaruh seporsi nasi yang tidak terlalu banyak, kemudian membubuhkan gudeg, sayur nangka muda atau gori yang dimasak dengan gula merah, ditambah dengan daun singkong.

Atas permintaan konsumen, lauk lain seperti sambal goreng krecek atau kulit sapi yang sedikit pedas dan berkuah, ayam opor, tahu, tempe atau telur pun dibubuhkan. Bagi yang suka pedas, meng-kletus (menggigit) cabai rawit segar melengkapi perjalanan menjelajah rasa menjadi semakin mantap.

Tak berbeda

Sebenarnya apa yang tersaji tidak berbeda dengan gudeg yang dijual di tempat lain. ”Ya, gudeg seperti biasa saja tidak ada yang berbeda,” ujar Bambang, menantu Mbah Prapto, yang delapan tahun terakhir ikut terjun di pawon.
Gudeg yang dijual Mbah Prapto adalah jenis gudeg basah yang merupakan perpaduan rasa manis dan gurih. Proses pembuatannya berbeda dengan gudeg kering yang umumnya dimasak lama dengan lauk dibacem agar bisa tahan lama. Adapun gudeg basah disajikan dengan lauk berkuah yang segar.

Sumarwanto (47), anak kedua Mbah Prapto, menceritakan, proses pembuatan gudeg dimulai pukul 09.00. Seluruh keluarga terlibat dalam memproses 10-15 kilogram nangka muda, 200 butir telur ayam, dan 15 potong ayam kampung beserta krecek, tempe, tahu, kelapa, dan gula merah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com