Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tongseng Kepala Kambing

Kompas.com - 01/08/2008, 08:15 WIB

Ini adalah untuk kelima kalinya saya dibuat mabuk kepayang oleh masakan sederhana yang langsung disajikan di dapurnya. Keempat dapur sebelumnya juga sudah pernah saya tulis di sini. Yang pertama adalah mangut lele di Desa Jetis, dekat Imogiri, Yogyakarta. Yang kedua adalah mangut lele yang lain lagi, di Desa Sewon, Bantul, Yogyakarta. Nomor tiga adalah “Gudeg Pawon”, juga di Yogyakarta. Nomor empat adalah bakmi jawa “Mbah Mo” di Desa Code, Bantul, Yogyakarta. Hebat, ya? Kelima tempat itu berada dalam radius 50 kilometer. Orang Yogya rupanya punya keistimewaan untuk menampilkan honest food yang dahsyat langsung dari dapurnya.

Tongseng kepala kamping Pak Din di Muntilan ini mengingatkan saya pada palu basa masakan Daeng Udin di Jalan Serigala, Makassar. Daeng Udin juga memakai semua bagian berdaging dari kepala sapi untuk masakannya. Semuanya dipotong rapi, sehingga sudah tersaji tanpa tulang di piring para pelanggan, dalam kuah yang sungguh mulus dan gurih. Pilihan Daeng Udin untuk memakai kepala sapi–bukan kepala kambing–juga merupakan pilihan sopan. Satu kampiun kuliner lokal yang sungguh tidak boleh dilewatkan.

Masakan mengesankan dari bagian-bagian kepala hewan yang sudah dipisahkan dari tulangnya adalah bacem kepala kambing di daerah Kolombo di Yogya, salah satu pilihan favorit pedoyan makan Butet Kertaradjasa. Sebetulnya, dengan sedikit upaya memisahkan daging dari tulang, sajian pun tampak lebih menarik. Para tamu tidak perlu merasa ngeri melihat bagian daging dan lemak yang masih melekat pada bagian mata atau rahang kambing yang masih bergeligi.

Sekalipun terdengar dan tampak mengerikan bagi sebagian orang, kepala kambing rupanya merupakan daya tarik yang khusus bagi para penggemar makan. Di Solo, tengkleng alias gule encer tanpa santan hampir selalu memakai bagian-bagian dari kepala kambing, tetapi masih lengkap dengan tulang-belulangnya. Begitu juga yang disebut sop kaki kambing di Jakarta sebetulnya justru mengandung banyak bagian kepala kambing, seperti: mata, lidah, dan pipi.

Di Jombang, penjual sate dan gule kambing Ringin Contong sengaja memajang beberapa glundung kepala kambing utuh di atas kuali gulenya sebagai daya tarik. Pelanggan yang berminat bisa memesan kepala itu untuk “dibantai” dan disajikan sebagai gule kepala kambing. Ternyata, setiap hari selalu ada pelanggan yang memesan agar kepala kambing utuh disisakan untuk mereka.

Di Desa Mengoro, Tembarak, sedikit di luar Kota Temanggung, ada penjual brongkos kepala kambing yang sangat terkenal. Sebetulnya, Warung Makan “Punjung Jiwo” milik Pak Pujo ini sebelumnya sudah terkenal dengan sajian brongkos kikil kambing. Tetapi, setelah memerkenalkan menu baru, warung makan ini menjadi semakin laris-manis. Tidak jauh dari tempat Pak Pujo, ada pula penjual brongkos lainnya yang setia menyediakan hanya brongkos kikil kambing.

Brongkos adalah masakan khas Yogyakarta, yaitu gule kental dengan kluwek. Kalau grombyang di Pemalang merupakan bastar antara soto dan rawon, maka brongkos adalah persilangan antara gule dan rawon. Karena kekentalannya, brongkos terasa lebih nendang. Seringkali brongkos – kebanyakan dibuat dari daging sapi dan koyornya – juga diberi kacang merah, sehingga memberi tekstur yang sangat khas.

Di “Punjung Jiwo”, bagian-bagian kepala kambing disajikan dengan tulang-tulangnya. Otak dibungkus tersendiri di dalam daun pisang. Sekalipun masakannya gurih dan dagingnya empuk, tetapi aroma kambingnya masih cukup kentara menghampiri hidung. Karena itu, di warung ini saya justru lebih menyukai brongkos kikil kambingnya.

Yang paling mengerikan adalah cara menyajikan sop kambing di Jalan Tapanuli, Medan. Kepala kambingnya dimasak utuh dalam kuah sop, termasuk otaknya masih di dalam rongga kepala. Setelah matang, kepala kambing dikeluarkan dari kuah dan di-display di atas piring-piring besar. Pelanggan memilih kepala kambing yang disukainya, lalu dipanaskan lagi di dalam kuah sop, dan disajikan utuh sak glundung dalam piring.

Ya, saya akui, saya pun pernah mencicipinya. Tetapi, Anda tidak perlu bertanya apakah saya ingin mengulangi pengalaman itu. Entahlah, kok rasanya saya jadi sangat barbarian ketika melakukannya. Horor banget rasanya!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com