Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (6): Kerajaan yang Hilang

Kompas.com - 11/08/2008, 07:37 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]


Mashang, segera, dalam konsep sopir truk Uyghur ini ekuivalen dengan menunggu delapan jam. Truk merek Dongfeng – asli buatan China – baru berangkat meninggalkan Rutog menjelang malam setelah penantian dari siang tadi. Saya duduk berdesakan di bangku sempit sebelah sopir.

Saya tak sendiri. Ada Ilya, seorang pesepeda dari Italia. Tibet memang surga bagi para pesepeda. Banyak yang datang jauh-jauh dari Eropa, menempuh perjalanan dengan sepeda melintasi Rusia dan Asia Tengah, masuk Tibet hingga ke Nepal dan India, atau berbelok ke Vietnam dan Asia Tenggara. Di mana-mana saya melihat pesepeda. Bukan hanya orang asing, pemuda-pemudi China pun sudah menempuh perjalanan keliling negara mereka yang luar biasa luasnya, hanya dengan sepeda.

Lima tahun lalu, kegiatan menjelajah masih belum terlalu populer di kalangan generasi muda China. Anak muda yang saya temui di universitas semua sibuk belajar untuk meraih beasiswa ke luar negeri. Cita-cita mereka – melihat dunia luar. Waktu itu dengan paspor China sungguh sulit bisa ke luar negeri. Negara-negara lain tak mau memberi visa. Semuanya penuh perjuangan.

Sekarang, ketika perekonomian sudah mulai maju, bocah-bocah dari kelas menengah sudah mengenal gaya hidup backpacking. Belajar giat, tetap. Tetapi waktu liburan juga boleh dipakai jalan-jalan. Saya melihat banyak pesepeda China yang melintas sepanjang jalan Xinjiang-Tibet Highway. Ada yang berombongan, ada pula yang sendirian, tak mau kalah dengan pesepeda Eropa yang sejak lama mengidamkan petualangan di atap dunia.

Ilya bertubuh kurus. Raut wajahnya tirus. Sepedanya sudah berapa kali rusak di jalan, di Parit Kematian, di Puncak Satsum, di pinggir Danau Pangong, dan sekarang di Rutog. Karena sudah capai mereparasi sepeda di tengah jalan, akhirnya ia mengambil jalan pintas – menaruh sepedanya di truk dan menumpang sampai ke Ngari. Dari petualang yang ‘naik’ sepeda, sementara ini menjadi penumpang yang ‘bawa’ sepeda.

Menumpang truk di Tibet sama sekali tak murah. Untuk jarak Rutog – Ngari yang cuma 120 kilometer bayarnya 50 Yuan, sama persis dengan karcis bus. Itu pun masih ditambah bonus mogok tiap dua jam. Sopir tak mau rugi, menarik bayaran dengan standar tiket bus. Seringkali sopir juga menolak mengangkut, apalagi kalau yang diangkut orang asing. Risikonya tertangkap polisi dan kena denda mahal.

Pagi-pagi buta saya sampai di kota Ali atau Ngari. Sebenarnya, nama Ngari adalah sebuah diqu (wilayah atau prefektur) meliputi semua daerah di Tibet barat seluas 300 ribu kilometer persegi lebih, sekitar seperempat seluruh luas wilayah Tibet, terbentang dari pegunungan Kunlun hingga ke Danau Suci dekat perbatasan Nepal. Tetapi nama yang sama juga dipakai untuk menyebut kota Shiquanhe yang menjadi pusat pemerintahan wilayah yang luas ini. Yang biasa dimaksud Ngari adalah kota Shiquanhe ini.

Ngari adalah kota baru. Tak ada bedanya dengan kota-kota lain di China kecuali tulisan Tibet yang nampak di mana-mana. Sebenarnya di kota ini lebih banyak karakter China daripada huruf Tibet, dan lebih banyak orang Han daripada suku Tibet.

Saya tak mau lama-lama di sini, karena berdasar informasi dari sesama penyelundup, kota ini penuh dengan polisi, tentara, mata-mata. Begitu turun dari truk, saya langsung berangkat ke terminal bus Ngari untuk mencari kendaraan lanjutan ke arah selatan.

Terminal sepi. Hanya ada dua bus, itu pun tidak ada tanda-tanda akan berangkat. Bus yang pergi ke Gunung Dewa baru berangkat tengah hari. Tiba-tiba saya melihat dua orang membopong ransel. Yang satu berjaket kuning menyala, satunya biru gelap.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com