Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/08/2008, 09:38 WIB

Kunjungan terakhir saya ke Samarinda membuat dendam saya sedikit terobati. Tetapi, mohon dicatat: baru sedikit. Mudah-mudahan tulisan ini akan membuat yang sedikit itu menjadi lebih banyak dan lebih banyak lagi.

Dalam kunjungan itu, saya sempat singgah ke Desa Pambang, sekitar 20 kilometer di Utara Samarinda. Desa ini merupakan tempat bermukim masyarakat Dayak Kenyah – salah satu rumpun utama Dayak yang ada di Kalimantan. Mayoritas subsuku Dayak Kenyah ini tinggal di daerah Apo Kayan, di hulu Sungai Mahakam.

Di Desa Pampang, ada sebuah rumah panjang khas Dayak Kenyah yang menjadi pusat kehidupan dan budaya masyarakat di desa itu. Bangunannya megah dan terawat rapi, berdiri anggun di sebuah tanah lapang yang luas. Tiap hari Minggu, masyarakat menyuguhkan atraksi kesenian. Banyak warga Samarinda dan wisatawan yang datang untuk melihat suguhan budaya ini.

Di sepanjang jalan utama desa juga terlihat beberapa toko dan gerai koperasi yang menawarkan berbagai barang kerajinan dan cendera mata khas Dayak Kenyah. Silakan mampir, pemirsa! He he he, jangan lupa, gadis-gadis Dayak cantik-cantik, lho. Dengan kulit mereka yang bening cerah, tentulah akan banyak pemuda kota yang bakal kecantol.

Kualitas maupun harga cendera mata yang dijual di Desa Pampang pun sudah memenuhi syarat untuk dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih komersial. Singkatnya, saya berpendapat bahwa penampilan Desa Pampang ini justru jauh lebih efektif daripada upaya seperti yang dilakukan Pemda Kalimantan Barat dengan membuat replika rumah bentang di Pontianak sana. Di Pampang, kita melihatnya secara lebih asli sebagai ampu’ sakampongan (lembaga adat) yang membumi.

Padahal, di Pontianak setiap tahun ada penyelenggaraan Gawai Dayak yang merupakan festival budaya Dayak. Mungkin karena “sentuhan” Pemda agak terlalu kelihatan, maka festival budaya semacam itu menjadi semacam kehilangan greget.

Hal-hal seperti itulah yang membuat saya terpaksa kembali ke soal dendam yang saya tulis pada awal tulisan ini. Saya telah beberapa kali berkunjung ke Sarawak Cultural Village (SCV) di Kuching, Malaysia. SCV merupakan etalase alias show window terbaik di dunia bagi seni dan budaya Dayak. Mereka bahkan menyebutnya secara telak: the living museum for Dayak culture. Kok adanya di Malaysia, sih?

Kita boleh saja berbeda pendapat tentang komersialisme yang menjadi dasar hidup SCV. Tetapi, jujur saja, apa sih saat ini yang dapat dipelihara tanpa dana yang cukup? SCV adalah sebuah usaha alias bisnis yang mampu mengedepankan budaya Dayak dengan sangat baik.

SCV adalah sebuah lahan alam berbukit di luar Kuching yang diubah menjadi taman budaya. Di sana dibangun lima rumah adat Dayak, masing-masing dari rumpun: Iban, Melanau, Bidayuh, Punan, dan Orang Ulu. Mungkin mereka malah mencontoh dari Taman Mini Indonesia Indah, namun berhasil menampilkannya secara lebih istimewa. Di samping rumah-rumah adat Dayak, juga ada rumah adat orang Melayu dan kaum peranakan Tionghoa.

Di setiap rumah adat, kita dapat melihat berbagai aspek kehidupan, seni, dan budaya masing-masing rumpun. Kita bisa melihat bagaimana mereka menenun dan memasak. Kita bahkan bisa mencicipi jajanan yang sedang dibuat. Setiap hari, di panggung utama disajikan dua kali pertunjukan kesenian yang tampil secara profesional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com