Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (79): Turisme di Kota Kuno

Kompas.com - 20/11/2008, 06:10 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Kota kecil Pushkar, tempat datangnya ribuan umat Hindu membasuh diri di kolam suci, hiruk pikuk menyambut datangnya Kartika Purnima. Bukan hanya kaum peziarah, kini unta, karavan, nomad, memenuhi seluruh sudut kota. Tak lupa tentunya turis. Bagaimana turisme mengubah kehidupan di tempat suci ini?

Saya dan Lam Li bersama-sama meninggalkan Jaipur menuju kota suci Pushkar. Bus penuh sesak. Orang India selalu tidak sabaran untuk turun dari bus. Saling desak, saling senggol, saya hampir terlindas oleh kakek tua yang mendorong saya dengan kasar. Penduduk negeri ini sepertinya punya konsep waktu yang aneh. Di kala senggang mereka tiduran seperti waktu tak pernah habis. Tetapi kalau sudah urusan turun dari kendaraan, mulai dari bus, rickshaw, kereta api, sampai pesawat terbang sekali pun, mereka harus jadi yang paling dulu menyentuh tanah, seolah waktu mereka tak tersisa lagi barang sedetik pun.

Kami berganti bus di kota suci Ajmer, kota suci umat Muslim. Pushkar, kota sucinya umat Hindu, hanya 14 kilometer jauhnya dari Ajmer.

Suasana kota kuno segera menyergap begitu kami memasuki gang sempit Pushkar yang berkelok-kelok bagai rumah sesat. Rumah kotak-kotak berwarna putih bertebaran. Alunan mantra terus mengalir dari pengeras suara yang ringsek. Sapi berkeliaran, dan perempuan berpakaian warna-warni yang begitu keras menusuk mata menambah kontras kota ini.

Di antara kekunoan itu, modernitas dunia pun berpadu. Orang-orang bule menyusuri jalan, menjepretkan kamera ke segala arah. Toko burger menawarkan makanan nikmat ala barat. Toko buku menjual novel bekas dengan harga miring, peninggalan para backpacker. Internet juga bertebaran di sebelah kuil kuno ratusan tahun. Hotel berlomba-lomba menarik perhatian turis asing dengan papan nama besar, menunjukkan tempatnyalah yang paling bagus, paling direkomendasikan dalam ‘kitab suci’ berjudul Lonely Planet, paling antik, paling nyaman untuk ditinggali.

Waktu kami di bus tadi, ada calo hotel yang membagi kartu nama penginapan di Pushkar. Turis yang datang ke India tentu tak akan pernah lepas dari caloisme. Dari para calo inilah hotel dan rumah makan di India bisa menarik turis sebanyak-banyaknya. Beberapa calo sangat aktif, melakukan teknik jemput bola mencari pelanggan.

“Hotel kami sangat murah,” kata pria yang membagikan kartu nama penginapan di Pushkar ini, “Hanya 150 Rupee saja. Sekarang semua hotel di Pushkar harganya melonjak karena festival unta sudah dekat. Mengapa hotel kami murah? Karena kami masih baru, belum terdaftar di Lonely Planet.”

Hah! Buku itu lagi. Justru kami tak peduli dengan penginapan yang terdaftar di buku itu. Penginapan di India tersebar di mana-mana, kita tak perlu terlalu tergantung panduan buku. Yang menjadi prioritas kami sebenarnya harga yang murah dan sesuai untuk ukuran kantong kami yang cekak.

Annyonghaseyo...,” sapa pemilik sebuah hotel di gang kecil Pushkar, menyangka kami orang Korea. Begitu mendengar kalimat itu, Lam Li yang sudah bosan dipanggil Korea atau Japani sepanjang hari, tanpa ba bi bu lagi langsung melangkah pergi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com