Alamak. Mengapa ‘kitab suci’ itu sampai mendikte turis-turis bahkan menentukan mana yang harus dimakan mana yang tidak?
Ketika saya meninggalkan tempat itu, si tukang omelet menyisipkan sebuah kartu mengkilap.
“Ini kartu nama saya, tolong diingat dan disebarkan pada kawan-kawan ya.” Di sana tertulis nama toko, alamat, nomor HP, bahkan alamat e-mail.
Entah berapa ratus tahun lagi pedagang martabak di Jakarta akan menyediakan buku testimoni dan kartu nama seperti ini.
Perang omelet semakin seru.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!