Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutong, tapi Nouvelle Cuisine

Kompas.com - 19/12/2008, 10:14 WIB

Dalam buku panduan The Miele Guide 2008/2009 (TMG 2008/9), restoran “Hutong” di Hong Kong dikategorikan sebagai restoran terbaik nomor sembilan di Asia. Kebetulan, saya menjadi dewan juri buku panduan ini untuk wilayah Indonesia, dan dengan bangga dapat saya sampaikan di sini bahwa restoran “Mozaic” di Ubud, milik Chris Salans, terpilih sebagai restoran nomor lima terbaik di Asia. Angkat topi untuk Chris! Chris adalah seorang chef asing yang sangat committed dalam mempromosikan kuliner Indonesia. Bayangkan, salah satu sajiannya adalah carpaccio dengan bumbu rendang. Coba juga ikan rock cod goreng bumbu kluwek yang mak nyuss!

Tentu saja, ketika berada di Hong Kong belum lama ini, “Hutong” langsung menjadi sasaran saya. Apalagi karena Hong Kong Tatler Best Restaurants 2008 (HKTBT 2008) juga memberi angka sembilan untuk “Hutong”. Sebetulnya, ada satu restoran eksklusif lain yang justru mendapat nilai sepuluh dari HKTBT 2008, yaitu “L’Atelier de Joel Robuchon”. Sedangkan TMG 2008/9 menempatkannya sebagai nomor dua di Asia setelah “Iggy’s” di Singapura. Tetapi, terus terang, saya agak kecewa ketika menemukan tempatnya yang “nyempil” di antara toko dan butik di The Landmark – sebuah hotel mewah di kawasan Central. Mau lihat pemandangan apa di sana?

Kebetulan atau tidak, “L’Atelier de Joel Robuchon” dan “Iggy’s” punya sangat banyak kemiripan dari segi interior dan menu. Saya pernah ke “Iggy’s” yang arsitektur interiornya sangat mirip dengan “L’Atelier de Joel Robuchon” ini. Sama-sama punya meja bar yang panjang dengan deretan kursi menghadap sebuah dapur terbuka modern. Salah satu menu populer di kedua restoran ini pun sama, yaitu burger dari daging wagyu dan selapis foie gras. Bedanya, “L’Atelier de Joel Robuchon” memakai tema warna merah-hitam yang sangat Hong Kong, “Iggy’s” memakai pilihan warna yang lebih subdued. Pertimbangan lain: ngapain pula cari masakan Prancis di Hong Kong?

“Hutong” terletak di lantai 28 sebuah gedung baru berdesain modern. Dari lantai itu, pemandangan Pulau Hong Kong di seberang sana dengan gedung-gedung pencakar langitnya tampil memukau. Berbeda sekali dengan makna kata hutong yang dalam bahasa Tionghoa berarti gang dengan jajaran rumah-rumah berpagar tembok tinggi di kanan-kirinya. Dengan lampu di dalam restoran yang sengaja ditemaramkan, pemandangan spektakuler di seberang sana – from floor to ceiling – sungguh bagaikan sebuah kanvas lukisan yang hidup. “The best view in Hong Kong,” begitu puji semua orang yang pernah ke sana. Kalah sedikit dibanding pemandangan dari Victoria Peak – puncaknya Hong Kong.  

Makanan yang disajikan “Hutong” adalah masakan Tionghoa gagrak nouvelle cuisine – sangat tidak hutong dalam arti tradisional. Di sini, cara masak dan citarasa Tionghoa disajikan dalam penafsiran modern. Bahan dan bumbu masak tradisional dan modern dipadukan dalam satu wajan.

Saya memesan dua jenis hidangan pembuka. Lumpia sayur dan kerang bambu dalam saus Chinese rose wine. Lumpia sayurnya menampilkan tekstur yang luar biasa. Kulitnya garing renyah, sayur di dalamnya crunchy. Sausnya adalah kecap jamur yang diusapkan ke kulit lumpia dengan kuas dari rajangan jahe muda. Masakan kerang bambunya (bamboo clam steeped in Chinese rose wine) dimasak mirip coq au vin. Tetapi, karena bahan utamanya adalah kerang bambu, proses memasaknya sangat cepat. Selain rose wine, juga tampak rajangan halus cabe rawit yang memberi tendangan unik pada sajian ini. Kerangnya dimasak dengan tingkat kematangan yang ciamik. Kenyil-kenyil empuk. Kedua jenis appetizers ini benar-benar berkelas juara.

Untuk hidangan utama, yang saya pesan adalah, iga saus paprika, ikan mandarin kukus bumbu kacang, dan kailan tumis bawang putih. Menurut saya, kualitas iga panggangnya biasa. Setara dengan iga bakar madu di beberapa restoran unggulan di Jakarta dan Bali. Tetapi, saus paprika-nya luar biasa. Saya memakai saus ini untuk makan nasi putih. Agak mirip seperti saus asam manis, tetapi dengan kelembutan yang mengagumkan.

Penampilan ikan mandarin kukus bumbu kacangnya membuat saya ternganga. Very Chinese, yet very nouvelle cuisine. Ikannya sudah dipotong-potong, dikukus dengan tekstur kenyal-lembut, lalu ditaburi kacang tanah bumbu pedas yang ditumbuk kasar. Rasanya! Mak nyuss!

Menurut para tukang makan yang pernah mencicipi masakan “Hutong”, beberapa sajian lain yang perlu dicicipi adalah: pangsit sayur, pangsit ikan dan melon, ayam pengemis (beggar’s chicken), lumpia kambing (disebut Peking Lamb di daftar menu karena kambing muda dipanggang seperti cara mereka memanggang bebek, dan hanya kulitnya saja yang disajikan dalam bungkus crepe), dan hairy crabs (tergantung musim).

Secara bergurau saya menyebut “Hutong” adalah obat pelangsing. Soalnya, sekali makan di situ – apalagi ditemani wine yang cakep – bisa beberapa malam tidak tidur memikirkan harga mahal yang sudah terlanjur dibayar.

Senyampang bicara soal kemewahan – dan saya yakin akan dicaci-maki banyak orang – saya juga ingin menceritakan tentang pengalaman minum teh di The Peninsula (Hotel). Kebetulan letaknya hanya sekitar dua ratus meter dari “Hutong”. Supaya sekaligus saja saya menerima kejengkelan pembaca yang menganggap saya nyinyir, sok tau, dan selalu pamer kemewahan. Ratusan tulisan saya tentang tempat makan murah dan mak nyuss di pinggir jalan agaknya tidak membuat saya termaafkan bila sesekali menulis tentang makanan mewah. Begitulah, nasibnya nasiiiiiib ....

The Peninsula adalah sebuah hotel klasik tua dan termewah di Hong Kong. Sebutan “Grande Dame of the East” masih melekat kuat sebagai citra hotel ini. Armada 14 limusin Rolls Royce Phantom untuk antar-jemput tamu VVIP tampak diparkir di depan hotel. Di pojok hotel ini juga ada butik Louis Vuitton yang terkenal dan selalu diantre turis Jepang. Entah kenapa, di Hong Kong ada banyak gerai Louis Vuitton, tetapi yang satu ini paling ramai.

Selain Louis Vuitton, high tea di Peninsula juga merupakan sebuah happening yang selalu diantre orang. Lucunya, mereka yang menginap di hotel itu justru enggan minum teh petang di sana. Setiap hari, antara pukul 2-6 petang, lobby hotel itu bagai di-claim oleh pengunjung yang tidak cukup kaya untuk menginap di sana, tetapi tetap kemaruk ingin mencicipi suasana hotel mewah itu. Maklum, high tea di Peninsula sudah merupakan sebuah “lembaga wajib” bagi kemewahan Hong Kong.

Tentu saja, harganya pun tidak murah. Secangkir teh di-bandrol sekitar Rp 65.000. Untuk berdua, sajian wajib yang disajikan dalam tiga baki bertingkat – terdiri atas beberapa jenis sandwiches, scones, dan petit fours – dihargai sekitar Rp 650.000. Kita membayar untuk ambiance yang serba mewah. Bellboy berseragam serba putih hilir-mudik mengantar tamu. Chamber orchestra melantunkan musik klasik. Di bulan Desember ini, pohon natal besar berpendar-pendar.  

Beberapa tahun yang lalu, saya juga sempat menginap di The Peninsula di Chicago. Hotel itu juga menyelenggarakan acara high tea tiap petang dengan kualitas yang sangat mirip dengan “kakak”-nya yang di Hong Kong. Sangat boleh jadi Barack Obama yang tinggal di Chicago pernah mampir minum teh di situ juga. Tetapi, orang-orang Chicago tampaknya tidak seberapa peduli dengan tradisi high tea. Mungkin mereka menganggapnya snobbish. Petang di Chicago itu saya lewatkan di lobi yang sepi sambil menikmati teh rasa aprikot dengan semangkuk kecil champagne grapes.

Life is good. Terima kasih, Tuhan.  

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com