Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makan-makan di Macau

Kompas.com - 25/12/2008, 07:02 WIB

Kebanyakan orang datang ke Macau untuk berkunjung ke berbagai kasino yang tersebar di sana. Saya datang untuk menonton Cirque du Soleil dan ... makan-makan, tentu saja.

Menyusuri lorong-lorong di bagian kota tua Macau, saya merasa deja vu. Seolah-olah saya berada di Malaka, sebuah kota tua antara Singapura dan Kuala Lumpur. Keduanya memang punya kesamaan, yaitu kota dengan tradisi campuran antara Tionghoa dan Portugis. Tetapi, secara kuliner Macau sangat berbeda bila dibandingkan dengan Macau. Bila di Malaka yang menonjol adalah masakan peranakan (bauran antara kuliner Melayu dan Tionghoa), di Macau, kuliner spesifik mereka adalah masakan Portugis bergaya Tionghoa. Di Malaka saya bahkan tidak menemukan masakan Portugis.

Deja vu yang saya sebut tadi paling kuat terasa ketika berjalan-jalan menyusuri jalan sempit beralas batu dari arah reruntuhan Igreja de Sao Paolo (Gereja Santo Paulus) menuju ke Avenida de Almeida Ribeiro. Di kiri-kanan jalan terdapat toko-toko kecil yang berjualan benda antik, dendeng manis, pastilleria (kue dan pastel), dan beberapa kedai yang menjajakan minuman khas Macau: susu jahe.

Pengalaman minum susu jahe di Macau dapat disamakan dengan minum cokelat panas (cioccolata calda) di Italia. Pada musim dingin seperti sekarang ini, orang Italia suka minum cokelat panas. Tetapi, minuman ini disuguhkan dalam keadaan sangat kental dan sangat pekat. Konsistensi atau kekentalannya mirip bubur. Kita tidak dapat menyeruput minuman ini, tetapi harus disendok pelan-pelan—sekaligus juga gegas agar tidak keburu dingin.

Susu jahe di Macau pun tampil dengan kekentalan yang mirip bubur. Rupanya, secara kimia susu dalam suhu tertentu akan terkoagulasi (mengental) bila dituangkan ke larutan sari jahe. Suhu susu sebelum dicampurkan ini rupanya merupakan “rahasia dapur” alias “rumus kimia” yang dipegang teguh secara turun-temurun. Saya duga menuangnya pun dengan teknik khusus. Beberapa kali saya mencoba di rumah, hasilnya adalah susu jahe seperti yang biasa kita minum di warung-warung STMJ (susu madu telur jahe). Susu jahe Macau juga sedikit mirip dengan susu yoghurt panas di Turki yang disedu dengan bubuk akar anggrek, sehingga cairan kentalnya agak lengket mirip karet.

Kekhasan itu membuat susu jahe Macau memang wajib diminum di Macau. Hal ini sangat identik dengan makanan Macau sendiri. Tidak ada tempat yang lebih cocok untuk mencicipi hidangan Macau selain di Macau sendiri. Di Hong Kong, hanya 65 kilometer di sebelah barat Macau, sebetulnya dapat dijumpai beberapa rumah makan dengan papan nama Macanese Cuisine, tetapi saya tidak pernah menemukan yang cocok.

Di sepanjang jalan-jalan kecil ini, jangan lupa pula menyinggahi pastilleria untuk mencicipi pastel de nata, kue bertabur kayu manis yang sangat khas Portugis. Ada juga makanan ringan yang banyak dikudap orang sambil berjalan, yaitu bakpau isi porkchop goreng. Porkchop bun ini banyak tersedia di restoran sebagai pengganti nasi. Ada pula yang versi goreng—garing di luar, lembut di dalam.

Salah satu ciri menonjol dari masakan Macau yang diadopsi dari kuliner Portugis adalah sajian yang dimasak dalam wadah keramik (claypot) dan diselesaikan di dalam oven. Saking populernya teknik masak ini, hampir di setiap toko alat-alat dapur di Macau selalu tersedia kuali-kuali keramik berbagai ukuran dan bentuk.

Ketika berbelanja alat-alat dapur itulah saya berkesimpulan bahwa cara masak orang Portugis dan Tionghoa memang punya kemiripan—khususnya dalam penggunaan claypot ini. Kuliner Tionghoa juga menggunakan claypot yang lazim disebut sapo untuk berbagai masakan. Sapo fan, misalnya, adalah nasi liwet mirip kamameshi di Jepang, yang dimasak dalam claypot langsung di atas api. Masakan sapo juga bisa berisi daging dan sayur, serta berbagai kombinasi lain.

Rupanya, kuncinya di sini adalah ukuran. Sapo memungkinkan kita memasak dalam ukuran (batch) kecil, misalnya untuk seorang atau dua orang saja. Sapo adalah alat praktis untuk menggabungkan semua bahan di dalam satu wadah, dan dimasak pelan-pelan dengan api kecil yang terkendali. Sapo memenuhi selera orang Tionghoa untuk menyantap masakan yang senantiasa fresh from the stove.

Bedanya, bila masakan claypot Portugis diselesaikan di dalam oven alias baked, sapo Tionghoa dimasak langsung di atas api. Kaum ibu Tionghoa sudah terlatih untuk masak sapo tanpa setiap kali “mengintip” apakah masakannya sudah matang. Perbedaan ini juga mengakibatkan tekstur yang berbeda pada masakan yang dihasilkan—khususnya bila yang dimasak adalah nasi. Sapo fan Tionghoa cenderung pera sehingga ketika akan disantap biasa dicampur dengan minyak sayur dan kecap jamur, sedangkan baked rice Portugis cenderung lembek dan lengket karena dimasak dengan kaldu dan tomat.

Cara masak claypot Portugis pun punya banyak kemiripan dengan cara masak tajin di Maroko. Bedanya hanya terletak pada bentuk claypot-nya saja. Kuliner Portugis dan Maroko sama-sama suka menggunakan bawang putih, saffron, tomat, minyak zaitun, dan piri-piri (semacam cabe rawit).

Hadirnya piri-piri yang pedas nylekit inilah yang agaknya membuat kuliner Portugis “klik” dengan lidah orang Tionghoa penduduk asli kawasan Macau ini. Salah satu masakan dengan piri-piri yang populer adalah ayam afrika yang dipanggang dengan lumuran saus cabe rawit ini. Hmm, kalau bumbunya ditambah terasi mungkin akan jadi mirip ayam bakar taliwang dari Lombok.

Sekalipun bangsa Portugis aslinya menyukai ikan segar—dan di Macau kebutuhan ikan segar mudah terpenuhi—mereka juga sangat suka ikan yang diawetkan, khususnya cabalhau. Cabalhau adalah referensi untuk ikan kod (Belanda: kabeljauw) yang dikeringkan dengan garam. Ketika akan dimasak, ikan kayu ini dilembabkan ulang dengan cara perendaman.

Masakan claypot Portugis yang populer (dalam istilah Inggris juga disebut stew) adalah feijoada, yaitu daging sapi (atau babi) yang dimasak dengan kacang (beans) dan sayuran lain. Yang juga sangat populer adalah caldeirada, stew dengan bahan utama ikan segar.

Pesanan saya untuk makan siang adalah baked rice dengan cabalhau, stew ikan, dan brokoli keju yang juga dipanggang dalam oven. Porsinya agak berlebih untuk dimakan berdua. Saya beruntung tidak jadi memesan caldo verde, sup khas Portugis berisi kentang, kol, dan sosis —sekalipun sebetulnya sangat ingin. Sup Portugis memang sangat mengenyangkan.

Ketika pelayan membuka sebotol kecil vinho verde untuk mendampingi makan siang, saya terhenyak menyadari bahwa di Indonesia kita memasuki tahun kedua tanpa menikmati Beaujolais Nouveau yang secara tradisional diluncurkan di seluruh dunia menjelang akhir November. Vinho verde (secara harafiah berarti wine hijau) bukanlah wine yang berwarna hijau, melainkan wine yang masih muda, identik dengan Beaujolais Nouveau di Perancis.

Di Jakarta, belum lama ini sudah hadir sebuah kafe yang menyajikan masakan Macau. Namanya “Cosi”, sekaligus membuka gerai di dua tempat, yaitu FX Plaza dan Pacific Place—keduanya di bilangan Senayan. Mereka yang ingin berkenalan dengan makanan khas Hong Kong Macau dapat “belajar” dulu di “Cosi”. Lumayan, kok. Harganya pantas, rasanya cukup autentik, dan tempatnya menyenangkan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com