Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (113): Qawwali

Kompas.com - 08/01/2009, 02:11 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

Hanya beberapa jengkal dari perbatasan India, denyut jantung kehidupan Pakistan langsung bervibrasi kuat. Ada dunia lain di balik garis perbatasan itu.

Dalam sekejap, India yang penuh warna, pertapa Hindu miskin yang berkeliaran, orang yang tidur di atas trotoar, serta peziarah Sikh dengan surbannya yang khas, tinggal kenangan. Kota Lahore yang terhampar di hadapan terasa gersang. Debu beterbangan. Para pria mengenakan pakaian yang sama semua – celana kombor shalwar dan jubah kamiz yang panjangnya sampai ke lutut dengan belahan di kedua tepinya. Warna shalwar dan kamiz biasanya sama, memberikan aksen monoton. Perempuan hampir tidak nampak sama sekali. Kalaupun terlihat di jalan, hanya satu atau dua, mengenakan cadar hitam pekat dan hanya menyisakan sepasang mata saja.

Selamat datang di Republik Islam Pakistan.

Tubuh saya lemah karena penyakit yang saya derita. Nafsu makan saya sudah mulai normal, tetapi sekarang saya harus berhati-hati memilih makanan. Kalau di Amritsar kemarin saya masih bisa menenggak sup China yang lezat dan bergizi, di Pakistan saya kesulitan kesulitan mencari makanan. Semuanya berminyak. Gara-gara penyakit kuning ini, saya selalu mual kalau melihat minyak.

Akhirnya, saya terpaksa duduk di restoran mewah bernama Pizza Hut, di pinggir jalan utama Mall Road. Restoran ini terletak di lantai dua sebuah gedung pertokoan. Lantainya mengilat. Harga menunya mahal, dan daging sapi – yang di India sana dijadikan dewa – di sini akan terhidang di atas meja sebagai santapan. Tetapi yang paling membuat saya terkejut adalah gadis pelayan yang cantik, berbahasa Inggris dengan elegan, berambut panjang tergerai, dan mengenakan rok pendek warna merah setinggi lutut. Sungguh bukan wajah perempuan Pakistan yang akan dijumpai di jalan-jalan.

          “Dulu ketika aku masih di India,” seorang backpacker Australia mengisahkan tentang pengalamannya tentang Pakistan, “ada seorang kawan yang baru datang dari Pakistan. Dia berkata, tunggu nanti kalau kamu sampai Pakistan, kamu akan melihat sebuah negara tanpa perempuan.. Tentu saja aku tertawa, mana ada negara seperti itu. Tetapi, ketika aku sampai di Lahore, aku benar-benar terkejut. Mana perempuannya? Tidak ada sama sekali. Ketika aku pergi ke Peshawar, perempuan yang terlihat di jalan lebih sedikit lagi. Mereka sudah jadi makhluk langka rupanya.”

Menurut buku Among the Believers tulisan peraih nobel sastra V.S. Naipaul yang sedang saya baca, Pakistan adalah sebuah negara yang berdiri di atas mimpi untuk menjadi tanah madani yang murni dan suci bagi umat Muslim. Sejak Zia-ul-Haq melakukan kudeta berdarah menggulingkan Zulfiqar Ali Bhutto, politisasi Islam semakin gencar di negara ini. Syariah diterapkan. Hari Jumat menjadi hari libur, menggantikan Minggu. Hukum rajam, aturan hudud, pemberantasan sekte Ahmadiyah, sampai hukum mati bagi penghujat Islam diberlakukan. Pakistan juga mulai bereksperimen dengan berbagai hal yang berbau religius, mulai dari sistem perekonomian Islami, pemerintahan Islami, sampai arsitektur rumah Islami. Sekarang Pakistan sudah punya Bank Perempuan dan tempat parkir mobil khusus perempuan.

Seperti yang diungkap oleh Naipaul, Islam di Pakistan juga bercampur dengan kebudayaan yang pra-Islami. Di sini hidup spiritual Sufisme yang berdaya mistis, yang merupakan detak jantung Islam di India, Pakistan, hingga ke negeri-negeri Asia Tengah. Islam yang mula-mula hidup subur di belahan bumi ini adalah Sufisme, dan hingga sekarang masih nampak wujudnya.

Di antara kebiasaan yang tidak Islami yang bercampur dengan kehidupan Islam adalah berkunjung, berziarah, dan berdoa di makam-makam orang suci. Makam suci Data Darbar atau Data Ganj Bakhsh, tempat bersemayamnya Hazrat Syed Abu Hassan, seorang guru Sufi dari Iran, adalah salah satu ikon kota Lahore yang ramai dikunjungi orang terlebih pada hari Kamis dan Urs (peringatan hari kematian) sang Hazrat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com