Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (134): Lambang Cinta

Kompas.com - 06/02/2009, 07:55 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 


Para pria ini kalap. Mereka menyambitkan pisau ke punggung mereka. Berkali-kali, tanpa henti. Darah segar mengalir. Inilah lambang cinta bagi sang Imam Hussain.

Ada banyak cara menunjukkan duka cita ketika ditinggal pergi orang yang disayangi. Ada yang menangis berhari-hari. Ada yang berpantang kesenangan selama empat puluh hari. Ada yang mengurung diri, tak mau bicara dengan siapa pun. Ada pula yang menyakiti diri sendiri, untuk menunjukkan kesedihan yang tak terkira.

Ratusan pria yang berkumpul di sebuah lapangan di Lahore ini termasuk golongan yang disebut terakhir. Begitu kesedihan mereka mencapai klimaks, lautan massa menangis keras dan suara pukulan-pukulan pada kepala dan dada berlangsung serempak, tamparan-tamparan di wajah sendiri meninggalkan jejak-jejak tangan. Kaum perempuan sudah meledak air matanya di balik cadarnya yang hitam pekat. Tangisan yang tak lagi terbendung mengeringkan kantung air mata, para pria yang bertelanjang dada berebutan menggapai rantai pisau, untuk menunjukkan cinta mereka pada sang Imam yang syahid dalam membela kebenaran.

Massa mulai tidak terkendali. Semuanya berdiri dan saling dorong. laki-laki yang bertelanjang dada saling berebutan zanjir, rantai.  Rantai ini berupa rangkaian beberapa bilah pisau berujung melengkung, terikat oleh jalinan rantai logam. Bilah pisau bermata tajam, cukup untuk menyayat dan merobek permukaan kulit.

Mereka yang telah meraih zanjir langsung mengisi tempat di tengah lingkaran. Tempat ini kini menjadi ajang penyiksaan diri para lelaki dengan mencabik punggung dengan rantai pisau. Diayun lewat sebelah kiri leher, sebelah kanan, terus menerus. Darah mengucur deras. Ada pula yang menciprat, langsung ke wajah saya.

Emosi dan histeria ini menular cepat. Yang tak kebagian zanjir menangis keras-keras, dengan penuh tenaga meraih rantai pisau dari umat yang sudah berdarah-darah. Mereka pun hanyut dalam sebuah ‘ibadah’ perlambang cinta. “Ya Hussain... Ya Hussain...” teriakan bersahut-sahutan, bersama suara daging yang terkoyak.

Seorang kakek tua berambut putih seperti kesurupan. Tak berhasil meraih zanjir dari yang muda, ia memukuli kepalanya sendiri. Pukulan itu sangat keras pastinya, tiga kali pukul saja rambut putihnya berubah menjadi merah. “Hussain! Hussain! Hussain!” ia menangis, berjongkok di antara para pria yang bermandi darah.

Acara zanjirzani - menyambitkan zanjir ke punggung – adalah acara yang sangat berbahaya. Seorang yang sudah histeris tak merasakan sakit sama sekali. Jika keterusan memukulkan pisau bisa habis darahnya. Kasus umat yang tewas karena histeria berlebihan bisa saja terjadi. Kawan-kawan yang tak sedang melakukan zanjirzani berkewajiban menjaga agar tak sampai ada korban yang jatuh.

Seorang pria, punggungnya sudah banjir darah. Kawan-kawannya berusaha menghentikannya, merebut zanjir-nya. Tetapi emosi sudah menghapus kesadarannya, ia berusaha merebut kembali rantai pisau itu. Tak berhasil, sang pria kekar menangis sesenggukan di sudut. “Hussain... Hussain...” ratapnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com