Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Lebuh-lebuh Jalan Saigon

Kompas.com - 13/02/2009, 13:22 WIB

Tet - hari raya Imlek di Vietnam - membuat jalan-jalan utama Saigon (sekarang Ho Chi Minh City) menjadi kian semarak. Hiasan-hiasan bunga mei hwa dengan lampu-lampu semarak berpendaran di “atap” jalan raya maupun tiang-tiang lampu. Dengan ciri arsitektur Prancis yang masih tegas mewarnai wajah Saigon, kesan Oriental yang kuat menegaskan suasana Tet.
 
Seperti juga lebuh jalan (kaki lima, trotoar) di kota-kota Asia lainnya, sisi-sisi jalan Saigon selalu merupakan pemandangan yang asyik untuk diserap berlama-lama dan dengan irama sesantai mungkin. O, ya, jujur saja, saya pun senang melihat perempuan-perempuan langsing berkulit kuning dengan pakaian yang menyembulkan lekuk tubuh Oriental mereka. Masih banyak perempuan yang memakai ao dai atau pakaian tradisional yang menjuntai tipis. Entah kenapa, mayoritas perempuan Vietnam memiliki kesukaan untuk memilih pakaian yang dapat memamerkan payudara mereka secara efektif dan maksimum.
 
Teman saya, William Wongso, sering mengatakan bahwa untuk membedakan perempuan Vietnam dari perempuan Asia lainnya, cukup melihat mereka dari belakang. “Perempuan Asia lain biasanya memiliki ukuran pinggang dan pinggul yang lebih lebar dibanding perempuan Vietnam,” katanya. He he he .... Tetapi, tunggu dulu. Komentarnya itu tentu ada kaitannya dengan kuliner. “Itu semua karena orang Vietnam makan sayur jauh lebih banyak daripada orang Asia lainnya,” kata William.
 
Lebuh jalan Saigon mungkin merupakan food court terpanjang dunia. (Sayangnya, Museum Rekor Indonesia belum buka cabang di sana). Orang-orang Saigon makan pagi, makan siang, dan makan malam dari para penjual berskala sangat kecil yang berjejer-jejer bertebaran di sepanjang lebuh jalan. Ibaratnya, setengah orang Saigon makan, setengahnya lagi sibuk memasak makanan. Modalnya hanya pikulan dan beberapa dingklik. Volume dagangan yang dijual tidak seberapa. Pembeli duduk di dingklik mengitari pikulan. Bila saling mengenal, biasanya mereka membentuk lingkaran dan mengobrol sesamanya. Bila tidak saling kenal, mereka duduk menghadap jalan, sehingga dapat melihat lalu-lalang di jalan raya.
 
Tanpa harus melibatkan lembaga quick count yang pasti laris manis menjelang Pemilu tahun ini, tampak nyata bahwa pedagang lebuh jalan yang terbanyak adalah penjual minuman kopi. Yang kedua terbanyak adalah penjual pho, mi kuah khas Vietnam. Dan di antara mereka beredar para penjual lotre.
Puluhan ribu dingklik-dingklik cilik yang selalu dipenuhi orang-orang nongkrong di sepanjang lebuh-lebuh jalan Saigon ini mengingatkan saya pada Istanbul, Turki.  Kedua kota ini memang memiliki kesamaan dalam budaya nongkrong di pinggir jalan. Bedanya, bila di Saigon kebanyakan orang minum kopi, di Istanbul orang minum teh apel. Sedikit beda yang lain, bila di Istanbul hampir seluruhnya adalah laki-laki, di Saigon kaum perempuan dan laki-laki berbaur di komunitas lebuh jalan itu.
 
Budaya minum kopi rakyat Vietnam ini tentu saja membuat saya iri. Vietnam kini adalah penghasil kopi nomor dua dunia. Nomor satu adalah Brazil. Tetapi, Vietnam tidak hanya mengekspor kopi. Rakyat Vietnam juga minum kopi dalam jumlah yang cukup besar. Sepanjang hari mereka minum kopi, seolah-olah kopi tidak lagi berpengaruh terhadap kebiasaan tidur mereka. Atau, jangan-jangan, saking banyaknya kopi yang mereka minum setiap hari, mereka pun tidur dengan mata terbuka.
 
Di pinggir-pinggir jalan, es kopi susu (ca phe su da) dijual dengan harga rata-rata lima ribu dong (sekitar tiga ribu rupiah). Bila tidak memakai es, harganya cuma empat ribu dong. Kopinya mantap, dengan sesendok susu kental manis, tanpa gula. Bayangkan dengan kopi susu di gerai-gerai modern “Cap Ikan Duyung” yang sekarang populer di seluruh dunia, yang harga secangkirnya sekitar Rp 30 ribu. Murahnya harga minuman kopi di Vietnam membuat kopi menjadi minuman rakyat.
 
Mengapa Indonesia yang menjadi penghasil kopi nomor tiga di dunia tidak memiliki budaya minum kopi seperti di Vietnam? Pertanyaan ini tentunya sudah sering dipersoalkan di kalangan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia). Setiap kali harga kopi dunia anjlok, petani kopi langsung menjerit. Soalnya, konsumsi kopi di dalam negeri sangat kecil volumenya untuk mendukung industri ini. Mungkin kita perlu membudayakan kopi dengan menumbuhkan usaha-usaha kecil yang berjualan minuman kopi di pinggir jalan. Kalau perlu, dicari terobosan-terobosan kreatif untuk “memasyarakatkan kopi dan me-ngopi-kan masyarakat”.
 
Apa saja yang dijajakan di lebuh-lebuh jalan Saigon? Seperti telah saya katakan terdahulu, peringkat pertama dan kedua diduduki pedagang minuman kopi dan pho. Pho adalah mi kuah yang sangat populer di Vietnam. Mi-nya dari beras (karena Vietnam juga penghasil beras utama di Asia!) yang bentuknya agak lebar – mirip kuetiauw. Kuahnya hanya kaldu bening dengan bumbu minimalis. Proteinnya adalah daging sapi atau daging ayam dalam jumlah yang basa-basi. Sayurnya banyak! Biasanya, setiap mangkuk pho dihidangkan bersama sepiring sayuran mentah yang terdiri atas tauge, irisan bawang bombai, irisan cabe rawit, daun basil (semacam kemangi), dan berbagai macam daun lain. Tentulah suplemen serat tidak laku di Vietnam, karena porsi sayur yang dimakan orang Vietnam sangat besar.
 
Sayur selalu hadir di semua bentuk makanan yang disajikan. Misalnya, banh atau roti baguette yang populer di Saigon. Tampaknya ini merupakan tradisi tinggalan Prancis dulu ketika menguasai negeri yang mereka sebut Indochine. Baguette berukuran panjang sekitar 20 sentimeter dibelah, dioleh sedikit mentega dan mayones atau saus lain, diisi dengan irisan timun dan berbagai jenis sayur, baru kemudian ditumpangi dengan sedikit protein – bisa seiris babi panggang, bebek panggang, atau daging sapi panggang. Ada juga banh yang lebih mahal dengan isi udang. Atau banh yang vegetarian dengan isi dadar telur. Dadarnya juga dimasak di wajan kecil di lebuh jalan.
 
Untuk makan siang dan makan malam, banh atau baguette juga sering dipakai untuk makan kari ayam. Banh tampak sama populer di Vietnam dibanding makanan yang dibuat dari beras. Karena itu, cukup mudah mencari tempat makan di Vietnam. Bila ada tulisan “Com”, artinya warung itu menjual nasi. Bila tertulis “Banh”, jualan warung itu adalah roti baguette.
 
Selain pho yang bahan utamanya beras, di lebuh-lebuh jalan Saigon juga sering tampak penjual carrot cake. Sebetulnya, nama makanan ini agak rancu. Bahan utama makanan ini bukanlah wortel (carrot), melainkan lobak (yang juga sering disebut white carrot). Di Singapura, makanan ini populer dengan sebutan char kwe kark. Di Saigon, ini merupakan jajanan pinggir jalan yang sangat murah.
 
Lebuh-lebuh jalan Saigon juga “mengajarkan” pelajaran berharga bagi saya. Pukul delapan pagi, semua toko-toko di sepanjang jalan utama sudah buka. Pasar Ben Thanh bahkan sudah ramai sejak pukul tujuh pagi. Ini menunjukkan produktivitas yang tinggi. Tidak heran bila angka HDI (Human Development Index) Vietnam lebih tinggi daripada Indonesia. Menurut pemeringkatan UNDP (United Nations Development Program), pada tahun 2008, Vietnam menduduki peringkat 115. Dan Indonesia harus puas di peringkat 117.
 
Sayangnya, HDI tampaknya terlalu canggih untuk menjadi isu yang diusung para capres. Padahal, rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia seperti ditunjukkan oleh peringkat HDI itu akan terus menggerus sisi daya saing Indonesia terhadap negara-negara Asia lainnya.
 
Duh, cape deh mikirin yang seperti ini. Makan lagi aja, yuk?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com