Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Miitem Bukan Sembarang Mi

Kompas.com - 28/02/2009, 07:00 WIB
MI, inilah makanan asal Asia yang amat go international. Sejak ribuan tahun lalu diciptakan di negeri China, mi terus beradaptasi dengan berbagai bangsa. Di Indonesia, mi dimodifikasi menjadi beragam masakan. Ada mi aceh, mi makassar, sampai miitem dan mi dari sayuran yang unik.

Lihatlah fenomena mi instan. Berbagai merek yang muncul di pasar dan gencarnya iklan mencerminkan mi memang jenis makanan yang fenomenal di Indonesia. Nah, di Jakarta, kita bisa menemukan begitu banyak macam olahan mi, mulai dari yang bergaya etnis sampai yang postmo.

Mi gaya postmo bolehlah kita contohkan dengan miitem dari Restoran Miitem yang warnanya memang benar-benar hitam legam. Resto ini bisa ditemui di Citywalk Sudirman dan Plaza Indonesia.

”Dulu waktu pertama kali kami perkenalkan di Kemang Food Festival, ada orang yang sampai lari, takut. Disangka cacing buat joke (bercanda),” tutur Tia Wongso, salah satu pemilik Restoran Miitem.

Warna hitam miitem diambil dari tinta cumi-cumi. Bahkan, cumi-cuminya itu sendiri sekaligus menjadi bahan baku mi. Dengan begitu, cita rasa minya memang sudah gurih.

Salah satu menu favorit pengunjung di Resto Miitem adalah Miitem Aglio Olio. Miitem ditumis dengan potongan daging ayam—yang telah dibumbui terlebih dahulu—dengan irisan cabai merah kering, bawang putih, lada putih, garam, dan sedikit taburan keju permesan. Melihat kehadiran keju permesan mengesankan mi ini ingin menjadi masakan pasta.

”Kami memang ingin keluar dari mainstream olahan mi. Ingin lebih adventurous. Makanya ada yang pakai daun basil, cream sauce, permesan,” kata Tia.

Pada Miitem Aglio Olio, paduan gurih pedas cukup harmonis. Cepat mengenyangkan perut. Untungnya, porsinya sangat pas. Pilihlah minuman yang menyegarkan untuk menemani menu miitem yang ditumis.

Itu tadi mi yang diolah secara modern dan dekat dengan pasta, mi ala Italia. Yang kini juga berkembang dengan bagus adalah mi sayuran, yakni mi yang dibuat dari tepung plus sayuran, seperti bayam, wortel, atau bahkan stroberi.

Sebenarnya mi sayuran sudah sejak lama ada di Jepang, China, dan Taiwan. Bahkan, mereka juga menyediakan mi sayuran instan.

Di Jakarta, mi sayuran cukup menarik minat konsumen walau restoran atau warung yang menyediakannya belum cukup banyak. Salah satu warung yang menyediakan mi sayuran adalah Bakmi Resto di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur.

Di warung kecil ini mi sayuran bisa disantap dengan pangsit goreng dan bakso. Bahkan, mulai pekan depan, mi sayuran bisa disantap dengan ayam rica-rica yang pedas tetapi nikmat.

Mi sayuran disajikan dalam dua pilihan, yakni satu warna atau dicampur warna-warni bak pelangi. Dari segi rasa, mi sayuran ini terasa lebih lembut dibandingkan dengan mi biasa.

Helaiannya lebih kecil dan langsing. Menurut Heri, karyawan Bakmi Resto, konsumen lebih senang yang berwarna hijau yang dibuat dari mi dan bayam. ”Mungkin karena warnanya juga lebih menarik,” ucapnya.

Harga mi sayuran dan mi kuning biasa tak berbeda. ”Satu mangkuk saya jual Rp 7.000. Namun, kalau mi bakso saya jual Rp 8.000,” kata Heri.

Harga yang murah dan mi yang sehat tentu membuat mi dagangan Heri cepat habis. Dia mengaku biasanya sore hari sudah tutup. ”Kalau hari Sabtu bisa tutup lebih malam,” kata dia.

Warung bakmi itu baru buka dua bulan lalu. Namun, berkat promosi dari mulut ke mulut dan media massa, konsumen pun berdatangan ke sana.

Mi aceh dan mi makassar

Di luar modifikasi mi secara modern, masyarakat di luar Jakarta dari puluhan tahun lalu sudah mengenal mi yang dimasak sesuai selera warga setempat. Mi aceh yang kini banyak bertebaran di Jakarta memang benar-benar berasal dari Aceh.

Kedai-kedai kopi di Aceh, kata Ratna Dwikora, pemilik Rumah Makan Seulawah yang menyediakan aneka menu makanan khas Aceh, selalu menyediakan mi aceh.

Kebiasaan menyantap mi aceh yang memiliki cita rasa kari kemudian ia bawa ke Jakarta. Tahun 1995, Ratna membuka rumah makan mi aceh dan bertahan sampai sekarang.

Rumah makan miliknya di Jalan Bendungan Hilir Raya, Jakarta Pusat, di seberang Rumah Sakit TNI AL Mintoharjo, tak pernah sepi dari tamu yang ingin menyantap mi yang kaya bumbu itu. Di dalam masakan jenis ini ada kepulaga, bumbu kari, cengkeh, sampai ketumbar.

Rasa minya lekat benar dengan kari, masakan asal India. Mi yang dimasak dengan sayuran, daging, ayam, atau makanan laut terasa agak pedas di lidah tetapi asyik.

Uniknya lagi, Ratna masih mendatangkan semua bumbu dari Aceh. ”Semua itu untuk menjaga cita rasa masakan agar tak berubah” tuturnya, Jumat (27/2).

Ia mengakui, pembuatan mi aceh tersebut cukup ribet, repot, karena harus melalui beberapa tahapan, tetapi cita rasa masakan tetap harus terjaga.

Kini, mi aceh, baik sajian Rumah Makan Suelawah maupun rumah lainnya, mulai banyak dikenal warga Jakarta dan sekitarnya. ”Sekarang banyak yang membuka kedai mi aceh. Pokoknya sejak ada tsunami, orang dari luar Aceh makin kenal Aceh dan mencari masakan khas kami,” ungkap Ratna.

Kegandrungan orang kepada masakan asal daerahnya juga tampak dari pengunjung yang mendatangi Kedai Pelangi di Jalan Wahid Hasyim Nomor 108, Menteng, Jakarta Pusat. Kedai mungil itu menyediakan masakan khas Makassar, tentu saja termasuk mi makassar yang mirip dengan ifu mi, salah satu jenis masakan China.

Mi makassar berbahan dasar mi telor yang helainya kecil, berwarna kekuningan, dan terasa lebih crispy daripada mi untuk ifu mi. Sebelum disiram kuah sayuran dan aneka daging sapi, ayam, atau makanan laut, mi lebih dahulu digoreng sampai kering.

”Ada tamu yang minta mi dipisah dari kuahnya, tetapi ada juga yang minta langsung di siramkan ke atas mi,” kata Femy Anan yang bersama suaminya, Benny Phieter, membuka kedai itu sejak tahun 2003.

Pasangan suami-istri ini sampai sekarang masih sering memasak sendiri makanan pesanan tamu walau kadang-kadang ia menyerahkan pembuatan mi makassar dan lainnya kepada koki kepercayaan mereka.

Sebenarnya porsi mi makassar amat besar, tetapi Femy menyesuaikan diri dengan porsi makan orang Jakarta. ”Yang makan bukan hanya orang Makassar, tetapi juga dari Jawa, bahkan turis dari Australia,” ujar Femy.

Untuk mempertahankan rasa dan sambal yang amat pedas, ia juga mendatangkan cabai dan tomat dari Makassar. (Soelastri Soekirno/Sarie Febriane/M CLARA WRESTI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com