Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (161): Pak Dokter yang Bukan Dokter

Kompas.com - 18/03/2009, 08:35 WIB
[Tayang:  Senin - Jumat]

 

Orang-orang Noraseri menyebut pria berjenggot putih yang murah senyum ini sebagai Doctor Sahab, Pak Dokter. Saya pun mengamininya sebagai dokter, setelah mendengar ceramahnya tentang obat-obatan anti diare.

          “Hah, kau kira Dokter Sahab itu benar-benar dokter?” Hafizah, putri Haji Sahab yang juga bekerja di rumah sakit tertawa tergelak-gelak, “Bukan. Dia sama sekali bukan dokter. Tak tahu mengapa semua orang sini memanggilnya Pak Dokter.”

Pak Dokter yang satu ini, saudara kandung Basyir Sahab yang menjaga keamanan tenda kami, hampir setiap sore bertandang ke perkemahan kami. Orangnya humoris dan tak pernah kehabisan bahan lelucon. Walaupun sudah tua, Pak Dokter suka sekali bermain dengan kami yang muda-muda, mulai dari kartu sampai kriket, semua dia jagonya.

           “Saya dulu satu sekolah dengan Presiden Sukarno,” saya teringat salah satu bualan Pak Dokter yang paling dahsyat, “jadi jangan lupa kirim peci dari Indonesia, paling sedikit 50 biji. Nanti penduduk desa Noraseri semua akan jadi seperti Presiden Sukarno, sahabat karibku itu.”

Di kesempatan lain, Pak Dokter menyuruh saya cepat-cepat menikah. “Kalau kamu tidak menikah, nanti kamu tidak bisa dapat bahan bangunan rumah!” Organisasi kami memang punya ketentuan, hanya mendistribusikan bahan bangunan shelter permanen kepada keluarga. “Tak peduli betapa tuanya kamu, kalau belum punya istri, tetap tidak mendapat bahan shelter. Makanya, cepat kawin!”

Saya selalu tergelak. Di antara sekian banyak gurauan yang saya dengar dari orang-orang Noraseri yang berusaha memendam tragedi masa lalu mereka dalam timbunan tawa dan harapan, humor Pak Dokter lah yang selalu terpatri dalam ingatan saya. Saya teringat betapa ia ingin sekali dikenalkan pada gadis Indonesia untuk dijadikan istri. Dulu saya kira itu hanya sekadar lelucon kotor. Tetapi sebenarnya Pak Dokter sedang memendam kepedihan hatinya setelah hidupnya diluluhlantakkan bencana. Belum lagi tawanya yang terkekeh-kekeh itu. Hari-hari kami akan jadi teramat sepi kalau saja Pak Dokter absen dari tenda kami.

Hingga pada akhirnya, semua hiburan di tenda itu menjadi kenangan. Proyek kami di Noraseri telah berakhir. Satu per satu kawan meninggalkan kamp ini. Satu per satu tenda digulung. Hanya saya seorang diri yang tersisa, mengunjungi keluarga-keluarga di Noraseri yang masih berat saya tinggalkan.

Pak Dokter menampung saya selama dua malam. Justru di hari-hari terakhir inilah, saya baru mengenal sisi lain kehidupan pak tua yang terlahir sebagai Khani Zaman ini. “Saya memang bukan dokter,” kata Pak Zaman jujur, “dulu saya bekerja sebagai ahli farmasi. Kemudian saya menjadi supir ambulan Edhi Foundation.” Edhi Foundation adalah organisasi kemanusiaan terbesar di Pakistan, didirikan oleh Abdul Sattar Edhi. Organisasi ini tercatat dalam Guiness Book of Record sebagai penyedia layanan ambulan terbesar di dunia.

Di mana-mana di daerah gempa Kashmir ini saya melihat mobil milik Edhi Foundation. Sungguh saya kagum dengan jaringan organisasi ini yang merambah sampai ke sudut-sudut terpencil pegunungan ini. “Ah, jangan kau kagum berlebihan,” kata Pak ‘Dokter’ Zaman, “saya tahu siapa Edhi itu sebenarnya.” Entah apakah koneksinya dengan Edhi selevel dengan ‘kedekatannya’ dengan Presiden Sukarno.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com